Perjanjian Kredit
1.
Pengertian Perjanjian Kredit
Pengertian kredit menurut Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang No 7 Tahun
1992 tentang perbankan adalah sebagai berikut :
“ Kredit
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persutujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak-peminjam melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau
pembagian hasil keuntungan”.
Pengertian kredit di atas pada Undang-undang No 10 Tahun 1998, sebagaimana tertuang dalam
pasal 1 ayat 11 mengalami sedikit perubahan, selengkapnya adalah sebagai
berikut :
“ Kredit
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan jumlah bunga “.
Dari kedua pengertian tersebut terlihat adanya suatu perbedaan
mengenai kontra prestasi yang akan diterima, semula kontra prestasi dari kredit
tersebut dapat berupa bunga, imbalan, atau hasil keuntungan, sedangkan pada
ketentuan yang baru kontra prestasi hanya berupa bunga. Latar belakang
perubahan tersebut mengingat kontra
prestasi yang khusus terdapat pada dalam pembiayaan berdasarkan prinsip
syari’ah yang berbeda sekali penghitungannya dengan kontra prestasi berupa
bunga.[1]
Dalam perkembangan perbankan modern pengertian perkreditan bukan
hanya terbatas pada peminjaman kepada nasabah semata atau kredit secara
tradisional, melainkan lebih luas lagi serta adanya fleksibilitas kredit yang
diberikannya. Dari pengertian kredit yang begitu luas, bank sebagai pemberi
kredit (kreditur) dalam menjalankan perannya wajib mendasarkan pada suatu
kebijakan untuk selalu tetap memelihara keseimbangan yang tepat antara
keinginan untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk tingkat bunga pada satu sisi
dengan tujuan likuiditas dan solvabilitas bank pada sisi lainnya.
Setiap kredit yang telah di setujui dan disepakati antara pihak
kreditur dan debitur maka wajib di tuangkan dalam suatu perjanjian kredit (
akad kredit ) secara tertulis. Dalam praktik perbankan bentuk dan format dari
perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan, namun
ada hal-hal yang tetap harus dipedomani, yaitu bahwa perjanjian tersebut
rumusannya tidak boleh kabur atau tidak jelas, selain itu juga perjanjian
tersebut sekurang-kurangnya harus memerhatikan keabsahan dan persyaratan secara
hokum, sekaligus juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya
kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit, serta persyaratan
lainnya yang lazim dalm perjanjian kredit.
Perjanjian Kredit (PK) menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan
salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku Ke
tiga KUH Perdata. Dalam bentuk apapun, pemberian kredit diadakan pada
hakikatnya merupakan salah satu perjanjian pinjam- meminjam sebagaimana diatur
dalam pasal 1754 sampai dengan pasal 1769 KUH Perdata. Kemudian yang
dimaksud dengan Perjanjian Kredit adalah perjanjian pemberian kredit antara
pemberi kredit dan penerima kredit”. Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati
antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk
perjanjian kredit.
Pengertian Perjanjian menurut KUHPerdata buku ke III pasal 1313
yang berbunyi :
“Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orang lain atau lebih”.
Dalam buku ke
III KUH Perdata tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur perihal
perjanjian kredit. Namun dengan berdasarkan kebebasan asas berkontrak, para
pihak bebas untuk menentukan isi dari perjanjian kredit sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan kepatutan.
Dengan
disepakati dan ditandatanganinya perjanjian kredit tersebut oleh para pihak,
maka sejak saat itu perjanjian lahir dan mengikat para pihak yang membuatnya
sebagai undang-undang.
Dari perjanjian tersebut timbul suatu hubungan
hukum antara dua pihak pembuatnya yang dinamakan perikatan. Hubungan hukum
yaitu hubungan yang menimbulkan akibat hukum yang dijamin oleh hukum atau
undang-undang. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi hak dan kewajiban secara
sukarela maka salah satu pihak dapat menuntut melalui pengadilan.
Sedangkan
perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak: pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut sesuatu disebut
kreditor sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut debitor.
Dalam ruang
lingkup pembahasan perjanjian kredit ini, sering pula dalam praktiknya peminjam
diminta memberikan representaions, warranties, dan covenants. Yang dimaksud dengan representaions
adalah keterangan-keterangan yang diberikan oleh debitur guna pemrosesan
pemberian kredit. Adapun warranties adalah suatu janji, misalnya janji
bahwa si debitur akan melindungi kekayaan perusahaannya atau asset yang telah
dijadikan jaminan untuk mendapatkan
kredit tersebut. Sedangkan covenants adalah janji utuk tidak
melakukan sesuatu, misalnya seperti janji bahwa si debitur tidak akan
mengadakan merger dengan perusahaan lain atau menjual atau memindahtangankan
seluruh atau sebagian besar asetnya tanpa seizing bank (kreditur).[2]
2.
Pihak-pihak
dalam perjanjian
a)
Pemberi Kredit
atau kreditur adalah bank atau lembaga pembiayaan lain selain bank misalnya
perusahaan leasing.
b)
Penerima Kredit
atau debitur, yaitu pihak yang bertindak sebagai subyek hukum.
3.
Syarat Perjanjian
Karena perjanjian kredit elemen pembentuknya
adalah perjanjian pada umumnya, oleh karenannya syarat sah perjanjian tersebut
sama halnya dengan syarat sah perjanjian, ada 4 syarat sah dalam perjanjian yaitu[3]:
a)
Kesepakatan mereka
yang mengikatkan dirinya
Sepakat dalam
kontrak adalah Perasaan rela atau ikhlas diantara pihak pihak yang terlibat
dalam perjanjian tersebut. Selanjutnya kesepakatan dinyatakan tidak ada bila
adanya suatu penipuan, kesalahan, paksaan, dan penyalahgunaan keadaan.
b)
Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan
Berarti
orang-orang yang terlibat dalam perjanjian tersebut adalah orang yang oleh
hukum dapat dianggap subjek hukum, yang tidak cakap oleh hukum adalah orang
yang belum dewasa, orang yang ditempatkan dalam pengawasan / pengampuan, orang
yang sakit kejiwaannya.
c)
Suatu pokok
persoalan tertentu
Artinya dalam
membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan
kewajiban para pihak bisa ditetapkan
d)
Suatu sebab
yang tidak terlarang.
Berarti
perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undang –Undang lainnya, ketertiban
umum, dan kesusilaan.
4. Unsur-unsur
perjanjian kredit:
a) Kepercayaan,
keyakinan pemberi kredit bahwa kredit tersebut akan terbayar kembali
b) Waktu,
pemberian kredit dan pembayaran kembali memiliki jangka waktu tertentu
c) Resiko,
bahwa setiap pemberian kredit selalu memiliki resiko, semakin lama jangka waktu
yang diberikan, semakin tinggi resiko kredit tersebut
d) Prestasi,
prestasi dalam perjanjian kredit adalah pemberian obyek kredit (bisa berupa
uang ataupun barang dan jasa, tapi yang paling sering dijumpai adalah uang)
5.
Fungsi Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian yang khusus, baik
oleh pihak bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur karena
perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan,
ataupun penetalaksanaan kredit itu sendiri. Perjanjian kredit mempunyai
beberapa fungsi, di antaranya[4] :
a)
Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. Artinya, perjanjian
kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian
lain yang mengikutinya, misalnya: perjanjian pengikat jaminan.
b)
Perjanjian kredit sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak
dan kewajiban di antara kreditur dan debitur.
c)
Perjanjian kredit sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
6.
Berakhirnya Perjanjian Kredit
Mengenai hapusnya atau berakhirnya perjanjian
kredit mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1381 KUH Perdata tentang hapusnya
perikatan. Pada praktek hapusnya atau berakhirnya perjanjian kredit lebih
banyak disebabkan :
a)
Karena pembayaran;
b)
Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan;
c)
Karena pembaruan utang;
d)
Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
e)
Karena percampuran utang; karena pembebasan utang; karena musnahnya
barang yang terutang;
f)
Karena kebatalan atau pembatalan;
Perjanjian Pinjam Meminjam
1.
Pengertian Perjanjian Pinjam Meminjam
Perjanjian
pinjam meminjam sudah diatur dalam buku ke III bab XIII KUH Perdata. Terdapat
dalam pasal 1754 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:
“Perjanjian
pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Sebagaimana
telah diterangkan dalam bab tentang pinjam-pakai, salah satu kriterium dalam
membedakan antara pinjam-pakai dan pinjam-meminjam adalah apakah barang yang
dipinjamkan itu menghabis karena pemakaian atau tidak. Kalau barang yang
dipinjamkan itu menghabis karena pemakaian, itu adalah pinjam-meminjam. Dalam istilah
“verbruik-lening” yaitu nama dalam bahasa belanda untuk perjanjian
pinjam-meminjam ini, perkataan “verbruik” berasal dari verbruiken yang berarti
menghabiskan. Dapat juga terjadi pada barang yang menghabis karena pemakaian,
di berikan dalam pinjam-pakai, yaitu jika dikandung maksud bahwa ia hanya akan
dipakai sebagai pajangan atau dipamerkan.[5]
Berdasarkan
perjanjian pinjam-meminjam itu, pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik
dari barang yang di pinjam, dan jika barang itu musnah dengan cara bagimanapun, maka kemusnahan itu adalah tanggungannya
(yang menerima pinjaman).[6] Dalam
halnya, peminjam uang, utang yang terjadi karena hanyalah terdiri atas jumlah
uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika sebelum saat perlunasan, terjadi
ustau kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau ada perubahan mengenai
berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlaah yang dipinjamharus dilakukan
dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan, dihitung menurut harganya
(nilainya) yang berlaku pada saat itu.[7]
Dengan demikian maka untuk menetapkan jumlah uang yang terutang, kita harus
berpangkal pada jumlah yang disebutkan dalam perjanjian.
2.
Unsur - unsur Perjanjian Pinjam – meminjam
Ketentuan Pasal 1754
KUHPerdata tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang meminjamkan sejumlah uang
atau barang tertentu kepada pihak lain, ia akan member kembali sejumlah uang
yang sama sesuai dengan persetujuan yang disepakati.
Dari pengertian
tersebut, kiranya dapat dilihat beberapa unsur yang terkandung dalam suatu
perjanjian pinjam-meminjam diantaranya ialah :
1.
Adanya para
pihak
2.
Adanya
persetujuan
3.
Adanya sejumlah
barang tertentu
4.
Adanya
pengembalian Pinjaman
3.
Kewajiban-Kewajiban orang yang meminjamkan
Terdapat kewajiban-kewajiban bagi orang yang meminjamkan yakni;
orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa yang telah
dipinjamkannya, sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Hal
tersebut merupakan pernyataan dari KUH Perdata pasal 1759, ketentuan ini sudah tepat
karena sangatlah tidak etis apabila orang yang meminjamkan suatu barang
misalnya, kemudian meminta kembali padahal belum lewat waktu seperti yang
diperjanjikan sebelumnya meskipun barang itu milik yang meminjamkan. Jika tidak
telah ditetapkan sesuatu waktu, hakim berkuasa, apabila orang yang meminjamkan
menuntut pengembalian pinjamannya, menurut keadaan, memberikan sedikit
kelonggaran kepada si peminjam[8].
Kelonggaran tersebut, apabila diberikan oleh hakim, akan dicantumkan dalam
putusan yang menghukum si peminjam untuk membayar pinjamannya, dengan
menetapkan suatu tanggal dilakukannya pembayaran itu. Penghukuman pembayaran
bunga moratoir juga ditetapkan mulai tanggal tersebut. Kalau orang yang
meminjamkan, sebelum menggugatkan dimuka hakim, sudah memberikan waktu
secukupnya kepada si peminjam, maka tidak pada tempatnya lagi kalau hakim masih
juga memberikan pengunduran. Jika perjanjian itu dibuat dengan akata otentik
(notaris), maka jika itu diminta oleh penggugat, hakim harus menyatakan
putusannya dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada permohonan banding
atau kasasi.
Dalam KUH Perdata Pasal 1761 menyatakan bahwa jika telah diadakan perjanjian, bahwa pihak
yang telah meminjam sesuatu barang atau sejumlah uang, akan mengembalikan
bilamana ia mampu untuk itu, maka hakim, mengingat keadaan, akan menentukan
waktunya pengembalian. Pada dasarnya penilaian tentang kemampuan si peminjam
sangatlah subyektif. Dalam menghadapi janji seperti itu, hakim akan menetapkan
suatu tanggal pengembalian pinjaman sebagaimana dilakukan terhadap suatu
perjanjian yang tidak menentukan atau mencantumkan suatu waktu tertentu.
Dan dalam pasal 1753 yang merupakan ketentuan tentang pinjam pakai
pun berlaku bagi pinjam meminjam apabila yang dipinjam bukan berupa uang tetapi
dapat habis karena pemakaian. Misalnya; beras, gandum, gula, bensin, dan
laian-lain.
4.
Kewajiban-kewajiban si peminjam
Si peminjam pun memiliki kewajiban-kewajiban seperti halnya yang
meminjamkan yakni; orang-orang yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan
mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang
ditentukan. Hal ini merupakan isi dari pasal 1763. Bila tidak telah ditetapkan
sesuatu waktu, maka hakim berkuasa memberikan kelonggaran, menurut ketentuan
pasal 1760 yang telah dibahas pada kewajiban-kewajiban yang meminjamkan.
Jika si peminjam tidak mampu mengembalikan barang yang dipinjamnya
dalam jumlah dan keadaan yang sama, maka ia diwajibkan membayar harganya, dalam
hal mana harus diperhatikan waktu dan tempat dimana barangnya, menurut
perjanjian, harus dikembalikan, jika waktu dan tempat ini tidak telah ditetapkan,
harus diambil harga barang pada waktu dan di tempat dimana pinjaman telah
terjadi (1764). Yang biasa adalah bahwa barang pinjaman harus dikembalikan di
tempat dimana pinjaman telah terjadi, yang adalah juga tempat dimana barang itu
telah diterima oleh si peminjam. Oleh karena itu, sudahlah tepat pada pasal
1764 tersebut menetapkan bahwa, dalam halnya tidak terdapat penunjuk tempat
pengembalian, harus diambil tempat dimana pinjaman telah terjadi, dalam
menetapkan harga barang yang harus dibayar oleh si peminjam.
Dalam pinjam meminjam ini, kebanyakan mengatur tentang pinjam
meminjam uang, dalam pinjam meminjam uang biasanya diikut sertakan dengan
bunga. Bunga dalam peminjaman uang pun memiliki pengaturannya dalam BW yakni;
pasal 1765 menyatakan bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas
peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. Bunga yang
diperjanjiakan atas peminjaman beras atas gandum, lajimnya juga berupa beras
atau gandum, meskipun tidak dilarang untuk menetapkan bunganya berupa uang.
Perbedaan Perjanjian Kredit Dengan Perjanjian
Pinjam Meminjam
Berdasarkan rumusan Pasal 1754 HUHPer, perjanjian pinjam-meminjam
mensyaratkan barang yang menjadi obyek perjanjian adalah barang yang dapat
habis karena pemakaian. Apabila obyek dalam suatu perjanjian adalah barang yang
tidak dapat habis karena pemakaian, maka perjanjian tersebut bukanlah
perjanjian pinjam-meminjam melainkan jenis perjanjian lainnya sehingga
menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula dari perjanjian pinjam-meminjam.
Perbedaan antara perjanjian kredit dengan perjanjian pinjam-meminjam terletak
pada beberapa hal, antara lain[9]:
1.
Perjanjian kredit selalu bertujuan, dan tujuan tersebut biasanya
berkaitan dengan program pembangunan, biasanya dalam pemberian kredit sudah
ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima. Sedangkan dalam
perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat
menggunakan uangnya secara bebas.
2.
Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit
adalah bank atau lembaga pembiayaan, dan tidak dimungkinkan diberikan oleh
individu. Sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam pemberian pinjaman dapat
diberikan oleh individu.
3.
Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang
pinjaman itu harus disertai bunga, imbalan atau pembagian hasil. Sedangkan
dalam perjanjian pinjam-meminjam hanya berupa bunga saja dan bunga ini pun baru
ada apabila diperjanjikan
4.
Pada perjanjian kredit, bank harus mempunyai keyakinan akan
kemampuan debitur untuk melunasi kredit yang diformulasikan dalam bentuk
jaminan baik materiil maupun immaterial. Sedangkan dalam perjanjian
pinjam-meminjam jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian pelunasan hutang
dan ini pun baru ada bila diperjanjikan
CONTOH SURAT
PERJANJIAN KREDIT
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Pekerjaan :
Alamat :
Dengan ini menyatakan telah menerima kredit dari :
Nama :
Pekerjaan :
Alamat :
Sebesar (Rp. 5.500.000,-) (Lima Juta Lima Ratus
Ribu Rupiah) yang akan saya kembalikan secara angsuran selama 12 bulan, setiap
tanggal 25 mulai bulan Juni, sampai pinjaman tersebut dinyatakan lunas oleh
pemberi kredit.
Adapun
besarnya angsuran tiap
bulannya adalah sebesar (..............................).
Untuk menjamin kelancaran angsuran setiap bulannya
maka :
1.
Saya akan mengembalikan angsuran setiap bulan atas nama sendiri atau
keluarga terdekat.
2.
Apabila saya mengingkari perjanjian ini di kemudian hari, maka saya
bersedia untuk menjaminkan harta benda saya untuk diperhitungkan dengan
pinjaman saya dan mengeksekusi harta benda tersebut.
3.
Apabila di kemudian hari ada permasalahan yang tidak dapat diselesaikan
secara musyawarah, maka permasalahan tersebut diselesaikan secara hukum yang
berlaku.
Demikian surat perjanjian kredit ini dibuat dengan
sebenarnya, dalam keadaan sehat jasmani maupun rohani tanpa ada paksaan dari
pihak manapun.
Mengetahui
Pemberi Kredit
( )
|
Jakarta, 2013
Peminjam
( )
|
CONTOH SURAT PERJANJIAN PINJAMAN-
MEMINJAM
Para pihak yang bertanda tangan di bawah
ini, masing-masing :
I Nama :
Jabatan :
Alamat :
Bertindak selaku atas nama dari PT…………,
selanjutnya dalam perjanjian ini disebut Pihak PERTAMA.
II Nama
/ NIP :
Jabatan :
Alamat :
Selanjutnya dalam perjanjian ini disebut
Pihak KEDUA
Pada hari ini, …… tanggal ………2013,
masing-masing pihak telah sepakat mengadakan perjanjian secara sukarela
sehubungan dengan pinjaman uang tunai, dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
Pasal 1 : Pihak PERTAMA telah meminjamkan
uang sebesar Rp ……… (…………rupiah ) dalam bentuk pinjaman
(berbunga/lunak)* kepada pihak KEDUA untuk keperluan pembelian 1
unit sepeda motor………….
Pasal 2 : Pihak KEDUA mengakui telah menerima
seluruh jumlah uang sebagaimana tersebut pada Pasal 1.
Pasal 3 : Pihak KEDUA berkewajiban mengembalikan pinjaman
tersebut dan sanggup melunasi hutang tersebut dengan cara mencicil
selambat-lambatnya dalam jangka waktu … bulan, dengan cicilan sebesar Rp
…… / bulan (+ Bunga 1,5% / bulan dari sisa pinjaman)* kalau
bukan lunak
Pasal 4 : Pihak KEDUA berkewajiban dan sanggup memberikan
keterangan tertulis mengenai domisili / alamat tempat tinggal dari RT diketahui
RW setempat setiap 3 ( tiga ) bulan sekali kepada pihak PERTAMA.
Pasal 5 : Dalam hal pihak KEDUA
mengundurkan diri atau diberhentikan dari perusahaan, maka Pihak
KEDUA berkewajiban dan sanggup melunasi sisa pinjaman secara tunai selambat-lambatnya
2 ( dua ) minggu sejak tanggal mengundurkan diri / diberhentikan.
Pasal 6 : Selama masih
ada pinjaman atau cicilan masih
berlangsung maka pihak KEDUA tidak diperkenankan untuk mengajukan pinjaman
baru dalam bentuk apapun.
Pasal 7 : Sebagai jaminan atas pinjaman seperti tersebut
pada pasal 2, maka BPKB milik Pihak KEDUA dijaminkan / diserahkan kepada Pihak
PERTAMA sampai pinjaman Pihak KEDUA Lunas.
Demikian perjanjian secara suka rela ini
dibuat dan ditandangani secara bersama-sama dalam keadaan sehat jasmani dan
rohani, tanpa ada tekanan dan paksaan dari manapun dan oleh siapapun, serta
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Bilamana dikemudian hari terdapat
pengingkaran/perselisihan atas perjanjian ini, maka para pihak sepakat untuk
menyelesaikannya dengan cara musyawarah, atau menempuh jalan melalui saluran
hukum yang berlaku.
Dibuat di :
Jakarta,
Pada tanggal : …………… 2013
Pihak KEDUA
(………/1234)
|
Saksi
Manager atasan ybs
(………………)
|
Pihak PERTAMA
(………………)
|
[1]Muhammad
Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2006), h.474
[4]
Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-klausul Perjanjian Kredit Bank, (Bandung:
Alumni, 1992), h. 64
[5] R
Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), h.
125
[7] Ibid, Pasal 1756
[8] Ibid, Pasal 1760
[9] http://www.duniakontraktor.com/perjanjian-kredit-dan-permasalahannya/.html di akses pada tanggal 31 Maret 2013, Pukul 17.30