Kamis, 05 Desember 2013

Perbedaan Perjanjian Kredit Dan Perjanjian Pinjam- Meminjam

Perjanjian Kredit
1.      Pengertian Perjanjian Kredit
Pengertian kredit menurut Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang perbankan adalah sebagai berikut :
“ Kredit penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persutujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan  pihak-peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan”.
Pengertian kredit di atas pada Undang-undang  No 10 Tahun 1998, sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 11 mengalami sedikit perubahan, selengkapnya adalah sebagai berikut :
“ Kredit penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga “.
Dari kedua pengertian tersebut terlihat adanya suatu perbedaan mengenai kontra prestasi yang akan diterima, semula kontra prestasi dari kredit tersebut dapat berupa bunga, imbalan, atau hasil keuntungan, sedangkan pada ketentuan yang baru kontra prestasi hanya berupa bunga. Latar belakang perubahan  tersebut mengingat kontra prestasi yang khusus terdapat pada dalam pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah yang berbeda sekali penghitungannya dengan kontra prestasi berupa bunga.[1]
Dalam perkembangan perbankan modern pengertian perkreditan bukan hanya terbatas pada peminjaman kepada nasabah semata atau kredit secara tradisional, melainkan lebih luas lagi serta adanya fleksibilitas kredit yang diberikannya. Dari pengertian kredit yang begitu luas, bank sebagai pemberi kredit (kreditur) dalam menjalankan perannya wajib mendasarkan pada suatu kebijakan untuk selalu tetap memelihara keseimbangan yang tepat antara keinginan untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk tingkat bunga pada satu sisi dengan tujuan likuiditas dan solvabilitas bank pada sisi lainnya.
Setiap kredit yang telah di setujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib di tuangkan dalam suatu perjanjian kredit ( akad kredit ) secara tertulis. Dalam praktik perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan, namun ada hal-hal yang tetap harus dipedomani, yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau tidak jelas, selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memerhatikan keabsahan dan persyaratan secara hokum, sekaligus juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit, serta persyaratan lainnya yang lazim dalm perjanjian kredit.
Perjanjian Kredit (PK) menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku Ke tiga KUH Perdata. Dalam bentuk apapun, pemberian kredit diadakan pada hakikatnya merupakan salah satu perjanjian pinjam- meminjam sebagaimana diatur dalam pasal 1754 sampai dengan pasal 1769 KUH Perdata. Kemudian yang dimaksud dengan Perjanjian Kredit adalah perjanjian pemberian kredit antara pemberi kredit dan penerima kredit”. Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit.
Pengertian Perjanjian menurut KUHPerdata buku ke III pasal 1313 yang berbunyi :
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.
Dalam buku ke III KUH Perdata tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur perihal perjanjian kredit. Namun dengan berdasarkan kebebasan asas berkontrak, para pihak bebas untuk menentukan isi dari perjanjian kredit sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan kepatutan.
Dengan disepakati dan ditandatanganinya perjanjian kredit tersebut oleh para pihak, maka sejak saat itu perjanjian lahir dan mengikat para pihak yang membuatnya sebagai undang-undang.
Dari perjanjian tersebut timbul suatu hubungan hukum antara dua pihak pembuatnya yang dinamakan perikatan. Hubungan hukum yaitu hubungan yang menimbulkan akibat hukum yang dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi hak dan kewajiban secara sukarela maka salah satu pihak dapat menuntut melalui pengadilan.
Sedangkan perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak: pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut sesuatu disebut kreditor sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut debitor.
Dalam ruang lingkup pembahasan perjanjian kredit ini, sering pula dalam praktiknya peminjam diminta memberikan representaions, warranties, dan  covenants. Yang dimaksud dengan representaions adalah keterangan-keterangan yang diberikan oleh debitur guna pemrosesan pemberian kredit. Adapun warranties adalah suatu janji, misalnya janji bahwa si debitur akan melindungi kekayaan perusahaannya atau asset yang telah dijadikan jaminan untuk mendapatkan  kredit tersebut. Sedangkan covenants adalah janji utuk tidak melakukan sesuatu, misalnya seperti janji bahwa si debitur tidak akan mengadakan merger dengan perusahaan lain atau menjual atau memindahtangankan seluruh atau sebagian besar asetnya tanpa seizing bank (kreditur).[2]


2.      Pihak-pihak dalam perjanjian
a)      Pemberi Kredit atau kreditur adalah bank atau lembaga pembiayaan lain selain bank misalnya perusahaan leasing.
b)      Penerima Kredit atau debitur, yaitu pihak yang bertindak sebagai subyek hukum.
3.      Syarat Perjanjian
Karena perjanjian kredit elemen pembentuknya adalah perjanjian pada umumnya, oleh karenannya syarat sah perjanjian tersebut sama halnya dengan syarat sah perjanjian, ada 4 syarat sah dalam perjanjian yaitu[3]:
a)    Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat dalam kontrak adalah Perasaan rela atau ikhlas diantara pihak pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Selanjutnya kesepakatan dinyatakan tidak ada bila adanya suatu penipuan, kesalahan, paksaan, dan penyalahgunaan keadaan.
b)   Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Berarti orang-orang yang terlibat dalam perjanjian tersebut adalah orang yang oleh hukum dapat dianggap subjek hukum, yang tidak cakap oleh hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditempatkan dalam pengawasan / pengampuan, orang yang sakit kejiwaannya.
c)    Suatu pokok persoalan tertentu
Artinya dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan
d)   Suatu sebab yang tidak terlarang.
Berarti perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undang –Undang lainnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.
4.      Unsur-unsur perjanjian kredit:
a)      Kepercayaan, keyakinan pemberi kredit bahwa kredit tersebut akan terbayar kembali
b)      Waktu, pemberian kredit dan pembayaran kembali memiliki jangka waktu tertentu
c)      Resiko, bahwa setiap pemberian kredit selalu memiliki resiko, semakin lama jangka waktu yang diberikan, semakin tinggi resiko kredit tersebut
d)     Prestasi, prestasi dalam perjanjian kredit adalah pemberian obyek kredit (bisa berupa uang ataupun barang dan jasa, tapi yang paling sering dijumpai adalah uang)
5.      Fungsi Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian yang khusus, baik oleh pihak bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan, ataupun penetalaksanaan kredit itu sendiri. Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, di antaranya[4] :
a)    Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. Artinya, perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya: perjanjian pengikat jaminan.
b)   Perjanjian kredit sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur.
c)    Perjanjian kredit sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
6.      Berakhirnya Perjanjian Kredit
Mengenai hapusnya atau berakhirnya perjanjian kredit mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1381 KUH Perdata tentang hapusnya perikatan. Pada praktek hapusnya atau berakhirnya perjanjian kredit lebih banyak disebabkan :
a)      Karena pembayaran;
b)      Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
c)      Karena pembaruan utang; 
d)     Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
e)      Karena percampuran utang; karena pembebasan utang; karena musnahnya barang yang terutang;
f)       Karena kebatalan atau pembatalan;

Perjanjian Pinjam Meminjam
1.      Pengertian Perjanjian Pinjam Meminjam
Perjanjian pinjam meminjam sudah diatur dalam buku ke III bab XIII KUH Perdata. Terdapat dalam pasal 1754 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:
“Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Sebagaimana telah diterangkan dalam bab tentang pinjam-pakai, salah satu kriterium dalam membedakan antara pinjam-pakai dan pinjam-meminjam adalah apakah barang yang dipinjamkan itu menghabis karena pemakaian atau tidak. Kalau barang yang dipinjamkan itu menghabis karena pemakaian, itu adalah  pinjam-meminjam. Dalam istilah “verbruik-lening” yaitu nama dalam bahasa belanda untuk perjanjian pinjam-meminjam ini, perkataan “verbruik” berasal dari verbruiken yang berarti menghabiskan. Dapat juga terjadi pada barang yang menghabis karena pemakaian, di berikan dalam pinjam-pakai, yaitu jika dikandung maksud bahwa ia hanya akan dipakai sebagai pajangan atau dipamerkan.[5]
Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam itu, pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik dari barang yang di pinjam, dan jika barang itu musnah dengan cara bagimanapun, maka kemusnahan itu adalah tanggungannya (yang menerima pinjaman).[6] Dalam halnya, peminjam uang, utang yang terjadi karena hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika sebelum saat perlunasan, terjadi ustau kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlaah yang dipinjamharus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan, dihitung menurut harganya (nilainya) yang berlaku pada saat itu.[7] Dengan demikian maka untuk menetapkan jumlah uang yang terutang, kita harus berpangkal pada jumlah yang disebutkan dalam perjanjian.
2.      Unsur - unsur Perjanjian Pinjam – meminjam
Ketentuan Pasal 1754 KUHPerdata tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang meminjamkan sejumlah uang atau barang tertentu kepada pihak lain, ia akan member kembali sejumlah uang yang sama sesuai dengan persetujuan yang disepakati.
Dari pengertian tersebut, kiranya dapat dilihat beberapa unsur yang terkandung dalam suatu perjanjian pinjam-meminjam diantaranya ialah :
1.      Adanya para pihak
2.      Adanya persetujuan
3.      Adanya sejumlah barang tertentu
4.      Adanya pengembalian Pinjaman
3.      Kewajiban-Kewajiban orang yang meminjamkan
Terdapat kewajiban-kewajiban bagi orang yang meminjamkan yakni; orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya, sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Hal tersebut merupakan pernyataan dari KUH Perdata pasal 1759, ketentuan ini sudah tepat karena sangatlah tidak etis apabila orang yang meminjamkan suatu barang misalnya, kemudian meminta kembali padahal belum lewat waktu seperti yang diperjanjikan sebelumnya meskipun barang itu milik yang meminjamkan. Jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, hakim berkuasa, apabila orang yang meminjamkan menuntut pengembalian pinjamannya, menurut keadaan, memberikan sedikit kelonggaran kepada si peminjam[8]. Kelonggaran tersebut, apabila diberikan oleh hakim, akan dicantumkan dalam putusan yang menghukum si peminjam untuk membayar pinjamannya, dengan menetapkan suatu tanggal dilakukannya pembayaran itu. Penghukuman pembayaran bunga moratoir juga ditetapkan mulai tanggal tersebut. Kalau orang yang meminjamkan, sebelum menggugatkan dimuka hakim, sudah memberikan waktu secukupnya kepada si peminjam, maka tidak pada tempatnya lagi kalau hakim masih juga memberikan pengunduran. Jika perjanjian itu dibuat dengan akata otentik (notaris), maka jika itu diminta oleh penggugat, hakim harus menyatakan putusannya dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada permohonan banding atau kasasi.
Dalam KUH Perdata Pasal 1761 menyatakan bahwa  jika telah diadakan perjanjian, bahwa pihak yang telah meminjam sesuatu barang atau sejumlah uang, akan mengembalikan bilamana ia mampu untuk itu, maka hakim, mengingat keadaan, akan menentukan waktunya pengembalian. Pada dasarnya penilaian tentang kemampuan si peminjam sangatlah subyektif. Dalam menghadapi janji seperti itu, hakim akan menetapkan suatu tanggal pengembalian pinjaman sebagaimana dilakukan terhadap suatu perjanjian yang tidak menentukan atau mencantumkan suatu waktu tertentu.
Dan dalam pasal 1753 yang merupakan ketentuan tentang pinjam pakai pun berlaku bagi pinjam meminjam apabila yang dipinjam bukan berupa uang tetapi dapat habis karena pemakaian. Misalnya; beras, gandum, gula, bensin, dan laian-lain.
4.      Kewajiban-kewajiban si peminjam
Si peminjam pun memiliki kewajiban-kewajiban seperti halnya yang meminjamkan yakni; orang-orang yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang ditentukan. Hal ini merupakan isi dari pasal 1763. Bila tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, maka hakim berkuasa memberikan kelonggaran, menurut ketentuan pasal 1760 yang telah dibahas pada kewajiban-kewajiban yang meminjamkan.
Jika si peminjam tidak mampu mengembalikan barang yang dipinjamnya dalam jumlah dan keadaan yang sama, maka ia diwajibkan membayar harganya, dalam hal mana harus diperhatikan waktu dan tempat dimana barangnya, menurut perjanjian, harus dikembalikan, jika waktu dan tempat ini tidak telah ditetapkan, harus diambil harga barang pada waktu dan di tempat dimana pinjaman telah terjadi (1764). Yang biasa adalah bahwa barang pinjaman harus dikembalikan di tempat dimana pinjaman telah terjadi, yang adalah juga tempat dimana barang itu telah diterima oleh si peminjam. Oleh karena itu, sudahlah tepat pada pasal 1764 tersebut menetapkan bahwa, dalam halnya tidak terdapat penunjuk tempat pengembalian, harus diambil tempat dimana pinjaman telah terjadi, dalam menetapkan harga barang yang harus dibayar oleh si peminjam.
Dalam pinjam meminjam ini, kebanyakan mengatur tentang pinjam meminjam uang, dalam pinjam meminjam uang biasanya diikut sertakan dengan bunga. Bunga dalam peminjaman uang pun memiliki pengaturannya dalam BW yakni; pasal 1765 menyatakan bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. Bunga yang diperjanjiakan atas peminjaman beras atas gandum, lajimnya juga berupa beras atau gandum, meskipun tidak dilarang untuk menetapkan bunganya berupa uang.
Perbedaan Perjanjian Kredit Dengan Perjanjian Pinjam Meminjam
Berdasarkan rumusan Pasal 1754 HUHPer, perjanjian pinjam-meminjam mensyaratkan barang yang menjadi obyek perjanjian adalah barang yang dapat habis karena pemakaian. Apabila obyek dalam suatu perjanjian adalah barang yang tidak dapat habis karena pemakaian, maka perjanjian tersebut bukanlah perjanjian pinjam-meminjam melainkan jenis perjanjian lainnya sehingga menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula dari perjanjian pinjam-meminjam. Perbedaan antara perjanjian kredit dengan perjanjian pinjam-meminjam terletak pada beberapa hal, antara lain[9]:
1.      Perjanjian kredit selalu bertujuan, dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program pembangunan, biasanya dalam pemberian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima. Sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat menggunakan uangnya secara bebas.
2.      Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan, dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu. Sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam pemberian pinjaman dapat diberikan oleh individu.
3.      Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman itu harus disertai bunga, imbalan atau pembagian hasil. Sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam hanya berupa bunga saja dan bunga ini pun baru ada apabila diperjanjikan
4.      Pada perjanjian kredit, bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur untuk melunasi kredit yang diformulasikan dalam bentuk jaminan baik materiil maupun immaterial. Sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian pelunasan hutang dan ini pun baru ada bila diperjanjikan






CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT

Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama                    :
Pekerjaan           :
Alamat                  :
Dengan ini menyatakan telah menerima kredit dari :
Nama                    :
Pekerjaan           :
Alamat                  :
Sebesar (Rp. 5.500.000,-) (Lima Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) yang akan saya kembalikan secara angsuran selama 12 bulan, setiap tanggal 25 mulai bulan Juni, sampai pinjaman tersebut dinyatakan lunas oleh pemberi kredit.
Adapun  besarnya   angsuran  tiap  bulannya  adalah  sebesar (..............................).
Untuk menjamin kelancaran angsuran setiap bulannya maka :
1.         Saya akan mengembalikan angsuran setiap bulan atas nama sendiri atau keluarga terdekat.
2.         Apabila saya mengingkari perjanjian ini di kemudian hari, maka saya bersedia untuk menjaminkan harta benda saya untuk diperhitungkan dengan pinjaman saya dan mengeksekusi harta benda tersebut.
3.         Apabila di kemudian hari ada permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, maka permasalahan tersebut diselesaikan secara hukum yang berlaku.
Demikian surat perjanjian kredit ini dibuat dengan sebenarnya, dalam keadaan sehat jasmani maupun rohani tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Mengetahui
Pemberi Kredit

(                                        )
Jakarta,                 2013
Peminjam

(                                         )

CONTOH SURAT PERJANJIAN PINJAMAN- MEMINJAM
Para pihak yang bertanda tangan di bawah ini, masing-masing :
I     Nama           :  
      Jabatan        :  
      Alamat         :  
Bertindak selaku atas nama dari PT…………, selanjutnya dalam perjanjian ini disebut Pihak PERTAMA.
II    Nama / NIP  :  
      Jabatan        :  
      Alamat         :  
Selanjutnya dalam perjanjian ini disebut Pihak KEDUA
Pada hari ini, …… tanggal ………2013, masing-masing pihak telah sepakat mengadakan perjanjian secara sukarela sehubungan dengan pinjaman uang  tunai, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Pasal 1   : Pihak PERTAMA telah meminjamkan  uang  sebesar  Rp ……… (…………rupiah ) dalam bentuk pinjaman (berbunga/lunak)* kepada pihak KEDUA untuk keperluan pembelian 1 unit sepeda motor………….
Pasal 2   : Pihak KEDUA mengakui  telah  menerima  seluruh jumlah  uang  sebagaimana tersebut pada Pasal 1.
Pasal 3   : Pihak KEDUA berkewajiban mengembalikan pinjaman tersebut dan sanggup melunasi hutang tersebut dengan cara mencicil selambat-lambatnya dalam jangka waktu … bulan, dengan cicilan sebesar Rp …… / bulan (+ Bunga 1,5% / bulan dari sisa pinjaman)* kalau bukan lunak
Pasal 4   : Pihak KEDUA berkewajiban dan sanggup memberikan keterangan tertulis mengenai domisili / alamat tempat tinggal dari RT diketahui RW setempat setiap 3 ( tiga ) bulan sekali kepada pihak PERTAMA.
Pasal 5   : Dalam hal  pihak KEDUA mengundurkan diri atau diberhentikan  dari perusahaan, maka   Pihak  KEDUA berkewajiban dan sanggup melunasi sisa pinjaman secara tunai selambat-lambatnya 2 ( dua ) minggu  sejak  tanggal mengundurkan diri / diberhentikan.
Pasal 6   : Selama masih  ada  pinjaman atau cicilan masih berlangsung maka pihak KEDUA tidak diperkenankan untuk mengajukan pinjaman baru dalam bentuk apapun.
Pasal 7   : Sebagai jaminan atas pinjaman seperti tersebut pada pasal 2, maka BPKB milik Pihak KEDUA dijaminkan / diserahkan kepada Pihak PERTAMA sampai pinjaman Pihak KEDUA Lunas.
Demikian perjanjian secara suka rela ini dibuat dan ditandangani secara bersama-sama dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, tanpa ada tekanan dan paksaan dari manapun dan oleh siapapun, serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Bilamana dikemudian hari terdapat pengingkaran/perselisihan atas perjanjian ini, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikannya dengan cara musyawarah, atau menempuh jalan melalui saluran hukum yang berlaku.

Dibuat di          : Jakarta,
Pada tanggal     : …………… 2013

Pihak KEDUA



(………/1234)
Saksi
Manager atasan ybs


(………………)
Pihak PERTAMA



 (………………)



[1]Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), h.474
[2] Djumhana, Perbankan, h. 505.
[3] KUH Perdata Buku III, Pasal 1320
[4] Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-klausul Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 1992), h. 64
[5] R Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), h. 125
[6] KUH Perdata Buku III, Pasal 1755
[7] Ibid, Pasal 1756
[8] Ibid, Pasal 1760
[9] http://www.duniakontraktor.com/perjanjian-kredit-dan-permasalahannya/.html di akses pada tanggal 31 Maret 2013, Pukul  17.30