A. Latar
Belakang
Sejak dahulu kala, ulama memiliki posisi yang penting dan
menentukan di Indonesia. Pada masa colonial dan pada masa sebelumnya, pada masa
kerajaan Islam, ulama memiliki peran signifikan di masyarakat, baik dalam
bidang politik maupun sosial. Kerajaan Islam di Indonesia, sebagian besar
dimotori oleh para ulama dalam pendiriannya. Menurut Mudzhar, pada abad ke-18,
ketika kerajaan Islam telah dikuasai dan dikendalikan oleh Penjajah Belanda,
peran ulama dibatasi pada masalah keagamaan dan isu-isu yang bersifat local,
bahkan hanya boleh mengurusi pesantren yang dimilikinya.[1]
Pada masa-masa berikutnya, peran ulama kembali meluas dalam
masalah-masalah politik, terutama setelah terjadi hubungan yang baik antara
Indonesia dan Mekkah melalui rutinitas ibadah tahunan, yaitu ibadah haji.
Gerakan politik yang dilakukan oleh para ulama diwujudkan dalam gerakan untuk
memperjuangkan kemerdekaan dari kungkungan penjajah Belanda, baik yang bersifat
kedaerahan, maupun yang bersifat nasional.
Peran strategis yang dimiliki oleh ulama, adalah kemampuannya untuk
melakukan mobilisasi massa. Dengan kewibawaan yang dimilikinya dan kepercayaan
yang diberikan oleh para santri dan masyarakat, ulama atau kiai mampu
menggerakkan massa secara cepat untuk berperang melawan penjajah Belanda. Peran
ini menunjukkan bahwa peran kiai tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi
juga peran politik.
B. Berdirinya
MUI
Ketika peran ulama berangsur-angsur disingkirkan dari kehidupana
politik yang mengharsukan mereka menarik diri dari kehidupan politik praktis,
pada masa awal orde baru. Maka untuk mengukuhkan peran ulama di masyarakat
diperlukan suatu lembaga yang cakupan wilayahnya bersifat nasional. Dalam
konferensi yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam pada tanggal 30
September sampai 4 Oktober 1970 disepakati bahwa untuk mengusung persatuan umat
Islam perlu dibentuk Majelis Ulama Indonesia yang memiliki fungsi untuk
memberikan fatwa yang disepakati oleh semua golongan, sehingga perpecahan di
antara mereka bisa dihindari.
Selama empat tahun, keinginan para peserta konferensi yang
diselenggarakan Pusat Dakwah Islam, tersebut tidak mendapatkan perhatian dari
pemerintah. Baru pada tahun 1974, Presiden Soeharto dalam pembukaan seminar
nasional bagi para da’i menekankan pentingnya lembaga nasional yang mewadahi
para ulama yang merepresentasikan para umat muslim yang memiliki latar belakang
dan paham keagamaan yang berbeda-beda. Saran ini disambut oleh para ulama, yang
pada tanggal 24 Mei 1975, para delegasi yang mewakili Dewan Masjid Indonesia
menghadap Presiden Soeharto, di mana dalam penyambutannya, dia menekankan kembali
pentingnya suatu wadah ulama yang bersifat nasional. Keinginan Presiden
Soeharto untuk menderikan suatu wadah untuk para ulama ini adalah karena:
a)
Keinginan
Pemerintah Indonesia untuk melihat kokohnya persatuan umat Islam,
b)
Kesadaran
bahwa banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia tidak bisa
dipecahkan tanpa melibatkan peran ulama.
Guna menindaklanjuti keinginan Presiden Soeharto mengenai
pembentukan wadah bagi ulama se-Indonesia ini, maka Menteri Dalam Negeri yang
waktu itu dijabat oleh Amir Machmud menginstruksikan kepada para gubernur untuk
mendirikan majelis ulama ditingkat propinsi. Instruksi ini mendapat sambutan
yang baik, sehingga tidak berapa lama, pada bulan Mei 1975, majelis ulama
tingkat propinsi sudah berdiri di 26 propinsi di Indonesia untuk mendukung
berdirinya majelis ulama di tingkat nasional.
Keinginan untuk mendirikan majelis ulama di tingkat nasional ini
semakin nyata ketika pada tanggal 1 Juli 1975, Menteri Agama Republik Indonesia
atas nama pemerintahan RI membentuk kepanitiaan yang bertugas untuk
mempersiapkan pendirian majelis ulama di tingkat nasional ini. Ada empat orang
yang ditunjuk untuk menjadi panitia, yaitu H. Sudirman (seorang pensiunan
jenderal Angkatan Darat) sebagai ketua, Dr. Hamka, KH. Abdullah Syafi’i, dan
KH. Syukri Ghazali sebagai penasehat.
Berdasarkan rapat kepanitiaan yang berkali-kali diselenggarakan,
maka disepakati untuk diselenggarakan Konfrensi Nasional Ulama yang
diselenggarakan selama satu minggu, 21-27 Juli 1975. Konferensi Nasional Ulama
tersebut diikuti oleh 53 orang dengan perincian:
a)
26 ulama yang
mewakili 26 propinsi,
b)
10 orang
mewakili organisasi keagamaan yang berpengaruh di Indonesia: NU, Muhammadiyah,
Syarikat Islam, Perti, al-Washliyyah, Mathlaul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan
al-Ittihadiyah,
c)
4 orang ulama
yang berasal dari para rohaniawan Islam; AD, AU, AL, dan POLRI,
d)
13 orang tokoh
cendekiawan muslim.[2]
Pada akhirnya, semua peserta konferensi sepakat untuk membentuk
wadah ulama di tingkat nasional yang diberi nama Majelis Ulama Indonesi (MUI)
menjelang berakhirnya konferensi tersebut, yaitu pada tanggal 26 Juli 1975
bertepatan dengan tanggal 7 Rajab 1395 H. di Jakarta dengan Ketua pertamanya
dipilih Dr. Hamka.
Momentum berdirinya MUI bertepatan
ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30
tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan
politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.
Ulama Indonesia menyadari
sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui
wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penajajahan
dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi
tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat
menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat,
serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek
religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat
manusia.
Selain itu kemajuan dan keragaman
umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan
kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan
bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.
Akibatnya umat Islam dapat terjebak
dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu
kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi
kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan
silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat
Islam.
Dalam perjalanannya, selama dua
puluh lima tahun Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama,
zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk
1.
Memberikan
bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama
dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;
2.
Memberikan
nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada
Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah
Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan
kesatuan bangsa
3.
Menjadi
penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik
antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional.
4.
Meningkatkan
hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan
muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya
umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.[3]
Dalam khitah
pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama
MUI yaitu:
1.
Sebagai
pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2.
Sebagai
pemberi fatwa (mufti)
3.
Sebagai
pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4.
Sebagai
gerakan Islah wa al Tajdid
5.
Sebagai
penegak amar ma'ruf dan nahi munkar [4]
C. Urgensi
Majelis Ulama Indonesia
Perkembangan keilmuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
pada dekade belakangan ini, di samping mendatangkan kemudahan, efektifitas dan
efisiensi pekerjaan dan urusan kemanusiaan, namun juga mendatangkan
permasalahan-permasalahan barus yang sebelumnya tidak ada. Permasalahan
tersebut meningkat tajam dan semakin komplek yang perlu segera dipecahkan oleh
lembaga yang kapabel untuk memecahkan permasalahan tersebut sesuai dengan
aspirasi mayoritas masyarakat yang beragama Islam.
Patut disyukuri, bahwa permasalahan kemasyarakatan dan kebangsaan
yang dialami oleh umat muslim, tidak malah menjauhkan mereka dari agama, justru
fenomenanya masalah tersebut mendekatkan mereka kepada ajaran Islam, untuk
mencari jawaban dari agama Islam yang dipeluknya. Mereka membentuk
kelompok-kelompok kajian keislaman yang berusaha mencari jawaban atas
permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Masyarakat muslim, tidak semuanya
memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam, meskipun ghirah keagamaan mereka
tinggi. Oleh karena itu, ghirah yang baik dari umat Islam ini perlu segera
ditanggapi oleh para ulama yang notabene memiliki kapabilitas untuk memberikan
solusi atas permasalahan yang dihadapai oleh masyarakat muslim.
Para ulama tidak boleh membiarkan umat Islam berada dalam kebingungan
dalam menghadapi permasalahan yang mereka hadapi, apalagi membiarkan mereka
terjerumus dalam kesesatan, karena memutuskan secara salah terhadap
permasalahan mereka. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang notabene merupakan
perkumpulan para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim memiliki tanggung jawab
yang lebih besar daripada umat Islam yang lain untuk memberi jawaban dan
menunjukkan kepada jalan yang benar atas permasalahan yang dihadapi umat.
D. Metode
Penetapan Fatwa
Dasar-dasar dan Prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober
1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang
berbunyi:
1.
Setiap
Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang
mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
2.
Jika tidak
terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2
ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas yang
mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah,
dan saddu al-dzari’ah.
3.
Sebelum
pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam
madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang
berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
4.
Pandangan
tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan Fatwanya, dipertimbangkan.[5]
Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath
hukum yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum
yang digunakan oleh para ulama salaf.
Sikap akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MUI ini
adalah perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketikan menetapkan fatwa, di
samping itu juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik
pendapat yang mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang
diputuskan tersebut tidak cenderung kepada dua ekstrimitas, tetapi lebih
mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut.
Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa, adalah
perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai
bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya.
Dalam
menetapkan suatu fatwa, MUI harus mengikuti prosedur penetapan fatwa yang telah
digariskan, sebagaimana yang tercantum pada bagian ketiga pasal 3 sampai dengan
pasal 5 dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang
berbunyi:
Pasal 3
1.
Setiap masalah
yang disampaikan kepada Komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan
seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu
sebelum disidangkan.
2.
Mengenai
masalah yang telah jelas hukumnya (qath’iy) hendaklah komisi menyampaikan
sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui nashnya dari
Al-Qur’an dan Sunnah.
3.
Dalam masalah
yang terjadi khilafiyah di kalangan madzhab, maka yang difatwakan adalah hasil
tarjih setelah memperhatkan fiqih muqaran (perbandingan) dengan menggunakan
kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan.
Pasal 4
Setelah
melakukan pembahasan secara mendalam komprehensif, serta memperhatikan pendapat
dan pandangan yang berkembang dalam siding, Komisi menetapkan fatwa.
Pasal 5
1.
Setiap
Keputusan Fatwa harus di-tanfidz-kan setelah ditandatangani oleh Dewan Pimpinan
dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF).
2.
SKF harus
dirumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat luas.
3.
Dalam SKF
harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara ringkas,
serta sumber pengambilannya.
4.
Setiap SKF
sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan rekomendasi dan/atau
jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari SKF tersebut.
Majelis Ulama Indonesia, secara hirarkis ada dua, yaitu Majelis
Ulama Indonesia Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama Indonesia
Daerah. Majelis Ulama Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan fatwa mengenai
permasalahan keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut permasalahan umat
Islam Indonesia secara nasional dan/atau masalah-masalah keagamaan yang terjadi
di daerah, namun efeknya dapat meluas ke daerah-daerah lain, bahkan
masalah-masalah tersebut bisa menasional.
Meskipun ada hirarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa
yang dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa
yang satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa berdiri
sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya. Namun ketika keputusan MUI
Daerah dan MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, maka kedua pihak
perlu bertemu untuk mencari penyelesaian yang terbaik, agar putusan tersebut
tidak membingungkan umat Islam.[6]
E. Fenomena
di Lapangan
Meskipun MUI telah memiliki dasar-dasar dan prosedur penetapan
fatwa sebagaimana yang tertuang dalam keputusan MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997
tertanggal 2 Oktober 1997, namun di lapangan dasar-dasar dan prosedur penetapan
fatwa tersebut tidak diimplementasikan secara penuh dan konsisten.
Dalam pengamatan Atho Mudzhar, ada fatwa yang langsung merujuk
kepada hadits, tanpa meninjau ayat al-Qur’an, ada pula fatwa yang langsung
merujuk kepada kitab fikih, tanpa melihat kepada sumber yang lain, dan ada juga
fatwa yang tidak memberikan dasar dan argument sama sekali, namun langsung menyebut
dictum fatwa tersebut, sebagaimana kebolehan memutar film The Message karena
tidak memperlihatkan wajah Nabi Muhammad.[7]
Padahal banyak hadits yang berisi larangan untuk melukis wajah Rasulullah,
namun dalam Surat Keputusan Fatwa tersebut hadits ini tidak ditampilkan. Fatwa
mengenai kehalalan daging kelinci juga tidak dilakukan menurut dasar dan
prosedur yang benar, SKF ini hanya menampilkan hadits yang ada di kitab Nail
al-Authar, tanpa menyebutkan keumuman ayat.
Berdasarkan kajiannya terhadap fatwa MUI antara tahun 1975 – 1988
atau dari 22 fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI, Atho’ Mudzhar mengatakan
bahwa kebanyakan fatwa MUI didasarkan kepada qiyas, karena qiyas memang ampuh
untuk memecahkan permasalahn baru yang belum ada nashnya di dalam al-Qur’an dan
Hadits. Namun, dalam pandangannya penerapan qiyas tidak tepat, seperti adanya
ketidaksamaan illat antara maqis fih dan maqis alaih. Seperti keputusan MUI
mengenai kebolehan membudidayakan kodok yang diqiyaskan dengan menyamak kulit.
Ketidaktepatan tersebut adalah karena pembudidayaan kodok adalah untuk dimakan,
sementara penyamakan kulit hanya untuk dipakai saja. Padahal menurut Atho
Mudzhar, pembudidayaan kodok atau makan daging kodok lebih tepat apabila
diqiyaskan dengan pembudidayaan dan memakan kepiting.[8]
Dalam menetapkan hukum pembudidayaan kodok, yang tujuan akhirnya
adalah dimakan, maka perlu diputuskan dahulu mengenai kehalalan kodok tersebut.
Memakan daging kodok adalah diharamkan menurut mazhab Syafi’i, namun
diperbolehkan menurut mazhab Maliki. Faktanya MUI menghalalkan pembudidayaan
kodok, namun mengharamkan untuk memakannya. Pembudidayaan kodok diperbolehkan
untuk mengambil manfaatnya, namun tetap tidak boleh dimakan.[9]
Permasalahannya mengapa MUI tidak langsung mengambil pendapatnya Imam Malik yang
membolehkan memakan daging kodok, yang berarti juga boleh membudidayakannya,
baik diambil manfaatnya maupun untuk dimakan.
MUI dalam prakteknya juga mendasarkan kepada madzhab yang berada di
luar mainstream madzhab yang berada di Indonesia ketika MUI mengambil pendapat
madzhab Zahiri dalam menetapkan keharusan musafir untuk melaksanakan shalat
Jum’at.[10]
Daftar Ketua MUI
Sampai saat ini Majelis Ulama
Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan
mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, yaitu:
No
|
Nama
|
Awal
Jabatan
|
Akhir
Jabatan
|
1
|
Prof. Dr. Hamka
|
||
2
|
KH. Syukri Ghozali
|
||
3
|
KH. Hasan
Basri
|
||
4
|
Prof. KH. Ali Yafie
|
||
5
|
KH. M. Sahal Mahfudz
|
sekarang
|
[1] Mohamad Atho
Mudzhar, “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal
Thought in Indonesia 1975 -1988”, Disertasi, Los Angels: University of
California, 1990, hal. 92
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia,
senin, 23, 21.38
[5] Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, 2003, hal. 4-5
[7] H.M. Atho
Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad; Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1998, hal. 134
[9] Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI,
Himpunan…., hal. 207-208
Tidak ada komentar:
Posting Komentar