Jumat, 30 Desember 2011

Ijarah


PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang

Di zaman sekarang sudah banyak berdiri lembaga-lembaga keuangan, baik yang bersifat syariah atau konvesional. Disamping itu antara keduanya mempunyai konsep yang sedikit berbeda, namun pada asalnya keduanya itu mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu memperoleh keuntungan. Berbagai badan usaha yang tumbuh subur di negara kita ialah perbankan syariah.
Diantara fenomena yang terjadi pada pembahasan-pembahasan tersebut adalah transaksi yang disebut ijarah atau lebih dikenal dengan sewa-menyewa. Sebagai umat muslim kita semua sudah tahu bahwa ijarah itu adalah diperbolehkan, dan itu merupakan salah satu transaksi dalam muamalah yang sedang kita pelajari saat ini. Hal ini patut mendapatkan perhatian dan dukungan dari kita semua sebagai orang muslim. Dengan demikian laju perkembangan dan arah langkahnya akan tetap lurus sebagaimana yang digariskan syariat Islam.
Oleh karena hal itu, saya atas nama penulis berusaha mengenal lebih dalam tentang ijarah yang telah jelas dasar hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadits. Dengan memahami hal tersebut, diharapakn kita dapat memahami hakikat transaksi ijarah yang benar menurut syariat yang ada.
  1. Rumusan Masalah
  1. Apa itu definisi ijarah?
  2. Apa dasar hukum ijarah?
  3. Apa saja syarat ijarah serta macam-macamnya?
  4. Bagaimana fitur dan mekanisme dalam ijarah?
  5. Apa objek ijarah?
  6. Bagaimana sifat dan hukum akaad ijarah?
  7. Bagaimana berakhirnya akad ijarah?


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Ijarah
Dalam fiqh muamalah, sewa-menyewa disebut dengan kata ijarah. Ijarah berasal dari kata "al-ajru" yang secara bahasa berarti "al-'iwadhu" yaitu ganti. Sedangkan menurut istilah syara', ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Lafal ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Dalam arti yang luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain. Menurut etimologi, ijarah adalah menjual manfaat, demikian pula artinya menurut etimologi syarat. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan beberapa pendapat definisi ijarah oleh ulama-ulama fiqih :
  1. Ulama Hanafiah
Artinya akad suatu kemanfaatan dengan pengganti.
  1. Ulama Asy-Syafi’iyah
Artinya akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.
  1. Ulama Malikiah & Hanabilah
Artinya menjadikan suatu milik kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa ijarah adalah pengambilan manfaat suatu benda, dalam hal bendanya tidak berkurang sama sekali. Dengan perkataan lain, dalam praktik sewa-menyewa yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan, sedangkan kepemilikan tetap pada pemilik barang. Sebagai imbalan pengambilan manfaat dari suatu benda, penyewa berkewajiban memberikan bayaran. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ijarah merupakan suatu kesepakatan yang dilakukan oleh satu atau beberapa orang yang melaksanakan kesepakatan yang tertentu dan mengikat, yaitu dibuat oleh kedua belah pihak untuk dapat menimbulkan hak serta kewajiban antara keduanya.

Dalam pengertian lain ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa.
Ada yang menerjemahkan sebagai upah mengupah. Menurut penulis keduanya benar, sebab penulis membagi ijarah menjadi dua bagian yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.
Dalam hukum Islam, orang yang menyewakan diistilahkan dengan "mu’ajjir", sedangkan penyewa disebut "musta’jir" dan benda yang disewakan disebut "ma’jur". Imbalan atas pemakaian manfaat disebut "ajran" atau "ujrah". Perjanjian sewa-menyewa dilakukan sebagaimana perjanjian konsensual lainnya, yaitu setelah berlangsung akad, maka para pihak saling serah terima. Pihak yang menyewakan (mu’ajjir) berkewajiban menyerahkan barang (ma’jur) kepada penyewa (musta’jir) dan pihak penyewa berkewajiban memberikan uang sewa (ujrah).


  1. Dasar Hukum Ijarah

أعْطُوا الأجِيْرَ أجْرَهُ قَبْل أن يَجُف عَرَقَهُ
Berilah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringan mereka” (HR. Ibnuj Majah, al Tabrani, dan al-Tirmidzi)
أن رسول الله ص م إحْتَجَمَ وأعْطَى الحِجامَ أجْرَه
Rasul berbekam dan membayar upah kepada yang membekamnya” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dalam periwayatan hadits-hadits tentang al-ijarah, sering kali terkait dengan beberapa aspek hukum muamalah lainnya seperti jual beli (buyu'), musyarakah dan lain sebagainya. Karena hal tersebut berkenaan dengan hukum perjanjian (akad). Unsur yang terpenting untuk diperhatikan yaitu kedua belah pihak cakap bertindak dalam hukum yaitu punya kemampuan untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk (berakal/tidak gila). Dengan demikian terjadi perjanjian sewa-menyewa yang kontras dan transparan dan tidak ada saling merugikan di antara kedua belah pihak. Adapun hadist lain yang menjadi dasar hukum yangv lain adalah:
عن عائشة رضى الله عنها قالت: إستأجر رسول الله صلى الله عليه وسلم و أبو بكر رجلا من بنى الديل خريتا، وهو على دين كفارقريش فدفعا لله راحلتيهما ووأعداه غار ثور بعد ثلاثة ليال براحلتيهما.{رواه البخارى}
Artinya: Dari Aisyah r.a, beliau mengabarkan: Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang ahli dari Bani ad-Dail dan orang itu memeluk agama kafir Quraisy, kemudian beliau membayarnya dengan kendaraannya kepada orang tersebut dan menjanjikannya di Gua Tsur sesudah tiga malam dengan kendaraan keduanya (HR. Bukhari).
Dalam hadist-hadist yang menjadi dasar hukum ijarah tersebut bahwa kita di anjurkan untuk memberikan kepada orang yang telah bekerja untuk kita sebelum keringatnya kering. Maksudnya disini ialah waktu membayar upahnya itu tidak boleh berlama-lama dari selesainya bekerja, artinya jangan menunda-nunda atau bahkan sampai terlambat dan akhirnya lupa tidak memberi upah.
  1. Rukun Ijarah

Adapun rukun-rukun ijarah yaitu :
  • Mu’jar (orang/barang yang disewa)
  • Musta’jir (orfang yang menyewa)
  • Sighat (ijab dan qabul)
  • Upah dan manfaat

  1. Syarat Ijarah

  • Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal.
  • Menyatakan kerelaannya untuk melakukan ijarah.
  • Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna.
  • Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak cacat.
  • Objek ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’ dan merupakan sesuatu yang bisa disewakan.
  • Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
  • Upah atau sewa dalam akad harus jelas dan sesuai dengan yang bernilai harta.

  1. Macam-Macam Ijarah

Dari perspektif objek dalam kontrak sewa (al-ma’qud ‘alaih) dibagi menjadi 3:
  • Ijarah ‘ain, adalah akad sewa menyewa atas manfaat yang bersinggungan langsung dengan bendanya, seperti sewa tanah atau rumah 1 juta sebulan untuk tempo 1 tahun.
  • Ijarah ‘amal, ialah apa yang djadikan adalah kerja itu sendiri yaitu upah keahliannya dalam bekerja, seperti dokter, dosen, lawyer, tukang, dll.
  • Ijarah mawshufah fi al-zimmah/ ijarah al-zimmah, yaitu akad sewa menyewa dalam bentuk tanggungan, misalnya menyewakan mobil dengan ciri tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Dalam konteks modern misalnya si A menyewakan rumahnya dilokasi tertentu dengan ukuran tertentu pula kepada si B. Tapi rumah tersebut akan siap dalam tempo dua bulan lagi. Namun si B telah lebih awal menyewanya untuk tempuh 3 tahun dengan bayaran bulanan 2juta. Ini ijarah fi al-zimmah, karena manfaat yang disewakan menjadi seperti tanggung jawab hutang kepada si A. Pemberi sewa perlu memastikan spesifikasi manfaat sewa rumah itu ditempati apabila sampai temponya.

  1. Fitur & Mekanisme Ijarah

  1. Hak perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajir), yaitu memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir), dan mengakhiri akad ijarah dan menarik objek ijarah apabila penyewa tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
  2. Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
  • Menyediakan objek ijarah yang disewakan
  • Menanggung biaya pemeliharaan objek ijarah
  • Menjamin objek ijarah yang disewakan, tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik
  1. Hak penyewa (musta’jir) antara lain meliputi :
  • Menerima objek ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan
  • Menggunakan objek ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan
  1. Kewajiban penyewa antara lain meliputi:
  • Membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan
  • Mengembalikan objek ijarah apabila tidak mampu membayar sewa
  • Menjaga dan mempergunakan objek ijarah sesuai yang diperjanjikan
  • Tidak menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan objek ijarah kepada pihak lain

  1. Objek Ijarah

Objek ijarah adalah berupa barang modal yang meliputi ketentuan, antara lain :
  • Objek ijarah merupakan milik/dan atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir).
  • Manfaat objek ijarah harus dapat dinilai.
  • Manfaat objek ijarah harus dapat deserahkan penyewa (musta’jir)
  • Pemanfaatan objek ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syara’.
  • Manfaat ob jek ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas.
  • Spesifikasi objek ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka waktu pemanfaatannya.

  1. Sifat dan Hukum Akad Ijarah

Para ulama’ fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu kedua belah pihak, seperti contohnya salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama’ mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Apabila seorang yang berakad meninggal dunia, manfaat dari akad ijarah boleh diwariskan karena termasuk harta dan kematian salah seorang pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.

  1. Berakhirnya Akad Ijarah

  • Objek hilang atau musnah
  • Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir
  • Wafatnya seorang yang berakad
  • Menurut ulama’ hanafiyah, apabila ada udzur dari salah satu pihak seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad ijarah batal. Akan tetapi, menurut jumhur ulama’ udzur yang boleh membatalkan akad ijarah hanyalah apabila objeknya cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.













BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan

Dari uraian penjelasan yang telah penulis paparkan di atas tadi dapat disimpulkan secara sederhana bahwa definisi dari ijarah itu sendiri adalah suatu akad yang berisi penukaran manfaat dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain. Dalam masalah pendefinisian tentang ijarah ini ada bermacam-macam pendapat di kalangan para ulama, tapi sesungguhnya semua itu pada hakekatnya sama dalam hal hukumnya.
Adapun dasar hukum ijarah diantaranya yaitu pada hadist yang diriwayatkan ibnu majah, al-Tabrani, dan at-Tirmizdi yang artinya “Berilah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”. Serta pada hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori yang artinya bahwa “Dari Aisyah r.a, beliau mengabarkan: Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang ahli dari Bani ad-Dail dan orang itu memeluk agama kafir Quraisy, kemudian beliau membayarnya dengan kendaraannya kepada orang tersebut dan menjanjikannya di Gua Tsur sesudah tiga malam dengan kendaraan keduanya”.
Rukun dan syarat seperti yang telah dijelaskan diatas, diantaranya yaitu barang yang disewa, orang yang menyewa, sighat, dan upah. Syarat ijarah diantaranya aqidaini harus berakal dan sehat, manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna, objek ijarah harus yang halal dan merupakan barang/sesuatu yang disewakan. Macam-macam ijarah dari perspektif objek dalam kontrak sewa ada tiga, yaitu ijarah ‘ain, ‘amal, dan mawshufah fi al-zimmah. Fitur dan mekanisme ijarah juga telah disebutkan sebagaimana yang telah dipaparkan diatas secara rinci.
Objek ijarah adalah berupa barang modal yang meliputi ketentuan, antara lain objek ijarah merupakan milik/dan atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa, manfaat objek harus dapat dinilai, dan manfaat objek ijarah harus dapat diserahkan penyewa. Masalah sifat dan akad ijarah, para ulama’ fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu kedua belah pihak. Akan tetapi, jumhur ulama’ mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.
Berakhirnya akad ijarah bisa karena objek ijarah hilang atau musnah, bisa juga karena wafatnya seorang yang berakad. Demikian itu kesimpulan yang dapat penulis paparkan dari makalah ini, selebihnya sudah dijelaskan pada bab pembahasan.























  1. Daftar Pustaka

Andri Soemitra,MA. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana 2009 Ed.1 Cet.1
Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 572. An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.3.
Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Jakarta: Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002



















Hibah, Hadiah dan Shodaqoh

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam merupakan suatu agama yang rahmatan lil alamiin dimana setiap orang bisa merasakan bagaimana indahnya ajaran yang dibawa oleh islam. Hal ini dikarenakan karena ajaran islam mengandung prinsip saling menolong sehingga dalam islam terdapat ajaran hibah, shadaqah, dan hadiah. Prinsip menolong dalam islam ini diutamakan dalam hal materi karena sejak lahir manusia sudah membutuhkan materi untuk kelangsungan hidupnya seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
Pada zaman lampau tuntutan hidup manusia tidak sebanyak zaman sekarang. Sekararang ini banyak orang yang merasa tergoda melihat berbagai hasil dari teknologi modern. Oleh karena itu, kebutuhan pada masa saat ini lebih banyak daripada masa lalu.
Allah menciptakan manusia dengan berbagai macam keadaan ekonomi. Hal ini agar manusia bisa saling membantu satu sama lain sesuai dengan syariat agama islam dengan melakukan hibah, shadaqah, dan hadiah. Sehingga jika setiap orang islam yang memiliki kelebihan harta mau melakukan hibah, shadaqah, dan hadiah kepada orang lain tentunya kita akan merasakan indahnya ajaran islam.
Pada dasarnya ketiga istilah ini memiliki unsur yang sama yaitu athiyah atau pemberian tanpa iwadh. Namun sebenarnya dari masing-masing istilah tadi terdapat perbedaan yang mencolok yaitu jika pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka disebut dengan shadaqah, namun jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mengagungkan orang lain atau atas dasar rasa cinta maka disebut dengan hadiah, dan jika pemberian tersebut diberikan tanpa ada maksud seperti shadaqah dan hadiah maka dinamakan hibah. Namun untuk lebih memahami ketiga materi ini akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.









BAB II
PEMBAHASAN

  1. Shadaqah
  1. Pengertian Shadaqah dan Hukumnya
Shadaqah ialah pemberian sesuatu kepada seseorang yang membutuhkan, dengan mengharap ridha Allah semata. Dalam kehidupan sehari-hari biasa disebut sedekah. Hukum shadaqah adalah sunnah, hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT, yang artinya sebagai berikut : "Dan bersedekahlah kepada Kami, sesungguhnya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang bersedekah" (Yusuf : 88). Allah juga berfirman yang artinya : "Dan kamu tidak menafkahkan, melainkan karena mencari keridhaan Allah dan sesuatu yang kamu belanjakan, kelak akan disempurnakan balasannya sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya". (QS. AI Baqarah : 272). Shadaqah merupakan salah satu amal shaleh yang tidak akan terputus pahalanya, seperti sabda Rasulullah SAW yang artinya : "Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendo'akan
kedua orang tuanya". (HR. Muslim). Pemberian shadaqah kepada perorangan lebih utama kepada orang yang terdekat dahulu, yakni sanak famili dan keluarga, anak-anak yatim tetangga terdekat, teman sejawat, dan seterusnya.

  1. Rukun Shadaqah
Rukun shadaqah dan syaratnya masing-masing adalah sebagai berikut :
  1. Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan berhak untuk
    mentasharrufkan ( memperedarkannya ).
  2. Orang yang diberi, syaratnya berhak memiliki. Dengan demikian tidak syah memberi kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya atau memberi kepada binatang, karena keduanya tidak berhak memiliki sesuatu.
  3. Ijab dan qabul, ijab ialah pernyataan pemberian dari orang yang memberi sedangkan qabul ialah pernyataan penerimaan dari orang yang menerima pemberian.
  4. Barang yang diberikan, syaratnya barang yang dapat dijual.
Perbedaan shadaqah dan infak, bahwa shadaqah lebih bersifat umum dan luas, sedangkan infak adalah pemberian yang dikeluarkan pada waktu menerima rizki atau karunia Allah. Namun keduanya memiliki kesamaan, yakni tidak menentukan kadar, jenis, maupun jumlah, dan diberikan dengan mengharap ridha Allah semata. Karena istilah shadaqah dan infak sedikit sekali perbedaannya, maka umat Islam lebih cenderung menganggapnya sama, sehingga biasanya ditulis infaq atau shadaqah.
Bershadaqah haruslah dengan niat yang ikhlas, jangan ada niat ingin dipuji (riya) atau dianggap dermawan, dan jangan menyebut-nyebut shadaqah yang sudah dikeluarkan, apalagi menyakiti hati si penerima. Sebab yang demikian itu dapat menghapuskan pahala shadaqah. Allah berfirman dalam surat AI Baqarah ayat 264 yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan ( pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti ( perasaan di penerima ), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia ..." (QS. AI Baqarah : 264).

  1. Orang yang berhak menerima shadaqah.
Di antara orang-orang yang berhak menerima shadaqah adalah:
  • Orang-orang yang shalih atau orang yang ahli dalam kebaikan.
  • Orang-orang yang paling dekat, antara lain menurut hadits Rasulullah riwayat Bukhari dan Muslim dari Zainab mengatakan bahwa orang yang lebih berhak menerima zakat adalah suami dan anakmu.
  • Orang yang sangat membutuhkan.
  • Orang kaya, keturunan Bani Hasyim, orang kafir dan orang fasik.
  • Shadaqah kepada jenazah, juga boleh memberikan shadaqah kepada jenazah dengan mengirimkan doa menurut ijma’ ulama’.


B. Hibah
1. Pengertian dan Hukumnya
Menurut bahasa hibah artinya pemberian. Sedangkan menurut istilah hibah ialah pemberian sesuatu kepada seseorang secara cuma-cuma, tanpa mengharapkan apa-apa. Hukum hibah adalah mubah ( boleh ), sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya : "Dari Khalid bin Adi sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda "siapa yang diberi kebaikan oleh saudaranya dengan tidak berlebih-Iebihan dan tidak karena diminta maka hendaklah diterima jangan ditolak. Karena sesungguhnya yang demikian itu merupakan rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya". (HR. Ahmad)


2. Rukun dan Syarat Hibah
Rukun hibah ada empat, yaitu :
  1. Pemberi hibah ( Wahib ), syaratnya:
  • Ahli Tabarru’ (ahli berderma).
  • Berakal.
  • Baligh.
  • Rasyid ( Pintar).
  1. Penerima hibah ( Mauhub Lahu ), syaratnya:
  • Seluruh manusia.
  1. Barang yang dihibahka, syaratnya:
  • Ada waktu hibah.
  • Berupa harta yang kuat dan bermanfaat.
  • Milik sendiri.
  • Hartanya menyendiri dan tidak bercampur dengan harta orang lain.
  • Barang tersebut telah diterima atau dipegang oleh penerima.
  • Penerimaan barang atas seizin wahib.
  1. Penyerahan ( Ijab Qabul ).

3. Ketentuan Hibah
Hibah dapat dianggap sah apabila pemberian itu sudah mengalami proses serah terima.
Jika hibah itu baru diucapkan dan belum terjadi serah terima maka yang demikian itu belum
termasuk hibah. Jika barang yang dihibahkan itu telah diterima maka yang menghibahkan tidak boleh meminta kembali kecuali orang yang memberi itu orang tuanya sendiri (ayah/ibu) kepada anaknya.


C. Hadiah
  1. Pengertian dan Hukumnya
Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara sesama. Rasulullah SAW bersabda yang artinya : "Hendaklah kalian saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi " ( HR Abu Ya'la )
Hukum hadiah adalah boleh ( mubah ). Nabi sendiripun juga sering menerima dan memberi hadiah kepada sesama muslim, sebagaimana sabda beliau yang artinya: "Rasulullah SAWmenerima hadiah dan beliau selalu membalasnya". (HR. AI Bazzar).

2. Rukun Hadiah
Rukun hadiah dan rukun hibah sebenarnya sama dengan rukun shadaqah, yaitu :
  1. Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan yang berhak mentasyarrufkannya.
  2. Orang yang diberi, syaratnya orang yang berhak memiliki.
  3. Ijab dan qabul.
  4. Barang yang diberikan, syaratnya barangnya dapat dijual.

D.Hikmah dan Manfaat Shadaqah, Hibah dan Hadiah
  1. Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT yang diwujudkan dengan memberi sebagian harta kepada orang lain.
  2. Dapat menciptakan rasa kasih sayang, kekeluargaan dan persaudaraan yang lebih intim antara pemberi dan penerima.











BAB III
KESIMPULAN
  • Shadaqah ialah pemberian sesuatu kepada seseorang yang membutuhkan, dengan mengharap ridha Allah semata. Dalam kehidupan sehari-hari biasa disebut sedekah. Hukum shadaqah adalah sunnah, hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT, yang artinya sebagai berikut : "Dan bersedekahlah kepada Kami, sesungguhnya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang bersedekah" (Yusuf : 88).
  • Rukun shadaqah dan syaratnya masing-masing adalah sebagai berikut :
  • Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan berhak untuk
    mentasharrufkan ( memperedarkannya ).
  • Orang yang diberi, syaratnya berhak memiliki. Dengan demikian tidak syah memberi kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya atau memberi kepada binatang, karena keduanya tidak berhak memiliki sesuatu.
  • Ijab dan qabul, ijab ialah pernyataan pemberian dari orang yang memberi sedangkan qabul ialah pernyataan penerimaan dari orang yang menerima pemberian.
  • Barang yang diberikan, syaratnya barang yang dapat dijual.
  • Hibah menurut bahasa artinya pemberian. Sedangkan menurut istilah hibah ialah pemberian sesuatu kepada seseorang secara cuma-cuma, tanpa mengharapkan apa-apa. Hukum hibah adalah mubah ( boleh ), sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya : "Dari Khalid bin Adi sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda "siapa yang diberi kebaikan oleh saudaranya dengan tidak berlebih-Iebihan dan tidak karena diminta maka hendaklah diterima jangan ditolak. Karena sesungguhnya yang demikian itu merupakan rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya". (HR. Ahmad).
  • Rukun hibah adalah:
  • Wahib (Pemberi)
  • Mauhub lahu (Penerima)
  • Mauhub (Barang yang dihibahkan)
  • Sighat (Ijab dan Qabul)
  • Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah.
  • Hikmah dan manfaat hibah, shadaqah, dan hadiah adalah:
  • Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT yang diwujudkan dengan memberi sebagian harta kepada orang lain.
  • Dapat menciptakan rasa kasih sayang, kekeluargaan dan persaudaraan yang lebih intim antara pemberi dan penerima.




















DAFTAR PUSTAKA
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung. Pustaka Setia.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Hasan, Muhammad Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

WAKAF


1.Pengertian Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari kata waqf yang berarti radiah (terkembalikan),al-tahbis (tertahan),al-tasbil (tertawan),dan al-man’u (mencegah).1
Kata al-waqf adalah bentuk masdar dari ungkapan waqfu al-syai’,yang artinya berarti menahan sesuatu.Imam Antarah,dalam syairnya,berkata : “untaku tertahan di suatu tempat,seolah-olah dia tahu agar aku bisa berteduh di tempat itu.”
Dengan demikian,penngertian wakaf,secara bahasa,adalah menyerahkan tanah kepada orang-orang miskin-atau untuk orang-orang miskin-untuk ditahan.Diartikan demikian karena,barang milik itu dipegang dan ditahan oleh orang lain,seperti menahan hewan ternak,tanah dan segala sesuatu.2
Sedangkan menurut istilah (syara’) yang dimaksud dengan wakaf sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama adalah sebagai berikut.
1.Sayid Sabiq dalam fiqh al-Sunnah berpendapat bahwa wakaf adalah :
حبس الاصل وتسبيل الثمرة.أي حبس المال وصرف منافعه في سبيل الله.
“menahan yang asal dan memanfaatkan hasilnya,maksudnya menahan harta yang dapat diambil manfaatnya,dan memanfaatkan hasilnya untuk mendapat ridha Allah.”3
Kata habs berarti juga al-man’u i(mencegah),yang berkedudukan sebagai jenis yang di dalamnya tercangkup semua bentuk habs (menahan),seperti rahn (gadai) dan hajr (sita jaminan).
Kata al-Ashl ini merupakan penjelas bahwa harta yang ditahan itu merupakan pokok harta tersebut,bukan merupakan harta yang dihasilkan dari pokok harta tersebut.kata ini memiliki maksud bahwa harta yang ditahan adalah bentuk harta yang diwakafkan oleh waqif itu sendiri.
Kalimat sharrafa mana’fiuhu fi sabilillah memberikan pengertian bahwa harta wakaf itu hasilnya harus dimanfaatkan untuk kebaikan dan mengecualikan pemanfaatkan di jalan yang tidak diridhai Allah swt..
2.Imam Taqiy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaeni dalam Kifayat al-Akhyar berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah :
ممنوع من التصرف في عينه وتصرف منافعه في البر تقربا ألي الله
“Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda (zatnya),dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.”4
Kata mamnu’ di sini merupakan persamaan kata dari al-habs yang berarti menahan sebagaimana keterangan di atas.
Min tasarrufin fi ‘ainihi memberikan bahwa zatnya harta yang diwakafkan itu tidak dapat ditasarrufkan dan sifatnya harus kekal.
Taqarruban ila Allah di sini memberikan pengertian bahwa tujuan utama dari wakaf ini adalah agar seorang hamba lebih mendekatkan diri kepada Allah dan niatnya pun harus bersih.Sebab jika niat berwakaf ini salah maka pahala dari wakaf itu tidak akan mengalir.
Dari dua definisi tersebut kiranya dapat diketahui bahwa wakaf adalah menahan suatu benda yang kekal zatnya,dan memungkinkan untuk dimanfaatkan guna diberikan di jalan kebaikan.





B.Dasar Hukum Wakaf
1.Al-Qur’an
Adapun yang dinyatakan sebagai dasar hukum wakaf oleh para ulama,yaitu :
  
“ Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”
Dalam ayat lain surat al-‘imran :92,Allah berfirman :
  
“ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Ayat tersebut mengisyaratkan anjuran bersedekah.Sedangkan wakaf adalah bentuk dari sedekah.Karena itu,wakaf mengikuti hukum sedekah.yaitu sunnah.

2.Hadist

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Dari Abu Huroirah R.a,Bahawasanya Rasulullah Saw.bersabda : Apabila telah mati seorang manusia,maka terputuslah pahala darinya,keculai tiga perkara :(a) Shadaq Jariyah,(b) ilmu yang bermanfaat,(c) anak yang shaleh yang mendoakan orang tuanya.”5
Hadist tersebut disebutkan dalam bab wakaf,karena para ahli tafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud sedekah jariyah dalam hadist tersebut adalah wakaf.Dengan demikian pahala dari wakaf tidak akan terputus sepanjang pokok harta wakaf masih ada.Dari statemen tersebut para ulama ,berpendapat bahwa harta wakaf harus bersifat kekal,sehingga yang boleh diwakafkan adalah benda yang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan.
Sedekah jariyah, seperti mewakafkan lahan untuk dimanfaatkan,hewan untuk dinaiki, perkakas-perkakas yang dapat digunakan, buku, mushaf, masjid atau asrama pelajar. Semua ini dan yang sejenisnya pahalanya mengalir kepada sang pewakaf yang bermanfaat yang digunakan untuk mewujudkan dan untuk meningkatkan kebaikan serta mendukung usaha-usaha kebaikan seperti keilmuan, jihad, ibadah dan lain sebagainya.
Dari sini kita dapat beragumen bahwa wakaf yang syar’i adalah wakaf untuk tujuan kebaikan kepada kerabat, fakir miskin dan lembaga-lembaga sosial lainnya yang mendapatkan manfaat.
Ilmu yang tetap bermanfaat setelah wafatnya seperti murid-muridnya yang terus menyebarkan ilmunya, buku-buku hasil karangan atau yang diterbitkan, dalam hadist shahih dijelaskan.6
لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من حمر النعم
Allah memberi hidayah kepada satu orang melaluimu adalah lebiih baik bagimu dari pada (mendapatkan) onta berwarna merah (harta berharga).
Anak yang shalih, baik anak kandung maupun cucu, baik laki-laki maupun perempuan. Doa anak yang salih serta pahala kebaikan yang dihadiahkan akan bermanfaat bagi kedua orangtuanya. Ketika beribadah kepada Allah, maka orang tua atau kakeknya akan mempoeroleh manfaat atas amal ibadahnya tersebut.
Ketiga hal itu dapat saja ada dari satu orang. Contohnya orang yang berwakaf yang ilmu atau buku karangannya dimanfaatkan oleh orang lain serta mempunyai keturunan yang salih serta menghadiahkan amal kebaikan untuknya. Sungguh anugerah Allah SWT begitu luas.
Ibnul Jauzi berkata: “mereka yang menyadari bahwa dunia adalah arena perlombaan untuk menghasilkan segala kebaikan dan menyadari bahwa setiap kali martabatnya secara amal dan keilmuan naik maka bertambah pula martabatnya di akhirat, akan berlomba dengan waktu dan tidak akan menyia-nyiakan waktunya sesaatpun serta tidak akan menunggalkan kebaikan yang mampu dilakukan. Siapa yang diberi kekuatan oleh Allah untuk melakukan hal itu maka raihlah ilmu dan dimasa hidupanya dan bersabarlah atas setiap cobaan dan kekurangan hingga dia dapat mewujudkan apa yang dia inginkan.7
Pendapat bahwa yang dimaksud sadaqah jariyah adalah wakaf,diperkuat dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah .

وأخرج ابن ماجه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " إن مما يلحق المؤمن من عمله وحسناته بعد موته: علما نشره أو ولدا صالحا تركه أو مصحفا ورثه أو مسجدا بناه أو بيتا لابن السبيل بناه أو نهرا أجراه أو صدقة أخرجها من ماله في صحته وحياته تلحقه من بعد موته ".
“Bahwasanya Rasulullah Saw.bersabda : “ Sesungguhnya diantara perkara yang akan dijumpai seorang mukmin dari amal dan kebaikannya setelah dia mati adalah : Ilmu yang diajarkannya atau anak soleh yang ditinggalkanya atau al-Quran yang diwariskannya atau masjid yang telah dibangunnya atau rumah yang dibangunnya untuk Ibnu Sabil,sungai yang dialirkannya,atau sedekah yang dikeluarkan dari harta di waktu sehat dan hidupnya,semua di jumpai pahalanya sesudah dia mati.”
Hadist di atas juga memberikan pengertian bahwa terdapat beberapa jenis wakaf sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadist tersebut.Selain itu terdapat juga beberapa jenis wakaf yang merupakan tambahan dari jenis wakaf di atas.Sebagaimana yang disajakkan oleh as-Suyuthi :
Jika anak adam telah mati,tiada pahal yang mengalir padanya,kecuali sepuluh perkara,ilmu yang disebarkannya,doa anak yang dididiknya,pohon kurma yang ditanamnya,sedekah yang diberikannya,mushaf yang diwariskannya,tempat berlindung yang dibangunnya,sumur yang digalinya,sungai yang di alirkannya,rumah persinggahan yang didirikannya,dan majelis dzikir yang dibangunkannya.”8

2.Praktek wakaf dizaman Rasulullah

عن أنس رضي الله عنه قال : لما قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم المدينه و أمر ببناء المسجد قال : يا بني النجار: تأ منوني بحاطئكم هذا ؟ فقالوا : والله لا نطلب ثمنه الا الى الله تعالى. أي فأ خذه فبناه مسجدا.
“Riwayat dari Anas r.a bahwa ketika Rasulullah saw.datang di Madinah dan memerintahkan membangun masjid,beliau berkata,’Wahai bani Najar,apakah engkau hendak menjual kebunmu ini ?’ Mereka menjawab,’Demi Allah,kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah.” Maksudnya agar Rasulullah mengambil dan menjadikannya sebagai masjid.”(HR Bukhari,Tirmidzi,dan Nasa’i)
وعن عثمان رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " من حفر بئر رومة فله الجنة. قال: فحفرتها " (4).وفي رواية للبغوي: " أنها كانت لرجل من بني غفار عين يقال لها رومة، وكان يبيع منها القربة بمد، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: تبيعنيها بعين في الجنة؟ فقال: يا رسول الله، ليس لي ولا لعيالي غيرها. فبلغ ذلك عثمان. فاشتراها بخمسة وثلاثين ألف درهم. ثم أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: أتجعل لي ما جعلت له؟ قال: نعم.قال: قد جعلتها للمسلمين.
“Riwayat dari ustman r.a bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw.bersabda.’Barangsiapa menggali sumur Raumah,maka untuknya surge.” Ustman berkata,’Sumur Raumah itu pun aku gali.” Dalam satu riwayat oleh al-Baghawi disebutkan jika seorang laki-laki dari Bani Ghifar mempunyai sebuah mata air bernama Raumah,sedang ia menjual satu kaleng dari airnya dengan harga satu mud.Maka Rasulullah saw.berkata padanya,’Maukah engkau menjualnya padaku dengan satu mata air sungai ? Orang itu menjawab,’Wahai Rasulullah aku dan keluargaku tidak mempunyai apa-apa selain itu.’Berita itu pun sampailah kepada Ustman.Lalu Utsman membelinya dengan harga tiga puluh lima ribu dirham.Kemudian datanglah Utsman kepada Nabi saw.,Lalu ia berkata,’ Maukah engkau jadikan bagiku seperti apa yang hendak engkau jadikan baginya (pemilik sumur itu)?”Beliau menjawab,’Ya’.Utsman berkata,’Aku telah menjadikan sumur itu sebagai wakaf bagi kaum muslimin.”
وعن سعد بن عبادة رضي الله عنه أنه قال: يا رسول الله إن أم سعد ماتت فأي الصدفة أفضل (1)؟ قال: الماء. فحفر بئرا وقال: هذه لام سعد
“Dari Sa’ad bin Ubadah r.a bahwa dia bertanya kepada Rasulullah saw.,Wahai Rasulullah,sesungguhnya Ummu Sa’id telah mati,lalu apakah sedekah yang paling baik pahalanya?’Rasulullah menjawab,’Air’Kemudian sa’ad menggali sumur, dan berkata,’Sumur ini adalah untuk Ummu Sa’ad.’”

Dalam hadist lain disebutkan sebagai berikut :

وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : { أَصَابَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إنِّي أَصَبْت أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ قَالَ : إنْ شِئْت حَبَسْت أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْت بِهَا قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ : أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا ، وَلَا يُورَثُ ، وَلَا يُوهَبُ ، فَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ ، وَفِي الْقُرْبَى ، وَفِي الرِّقَابِ ، وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ ، وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَالضَّيْفِ ، لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ ، وَيُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ،وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ .وَفِي رِوَايَةِ لِلْبُخَارِيِّ : { تَصَدَّقَ بِأَصْلِهَا : لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ } .

“Dari Ibnu Umar berkata : Umar memperoleh sebidang tanah di Khaibar,kemudian beliau menghadap Nabi Saw,” Saya mempunyai sebidang tanah di Khaibar,saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti harta itu,maka apakah yang engkau perintahkan ? “ Nabi menjawab : “Bila kamu suka,kamu tahan pokoknya;dan kamu sedekahkan hasilnya.” Kemudian Umar bersedekah,tidak dijual,tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan.Umar bersedekah pada fakir,kerabat,budak belian,sabillah,ibnu sabil,dan tamu dan tidak berdosa bagi orang yang memiliki tanah itu memakan hasilnya dengan cara sepantasnya,dan memberikan makanan tanpa menyimpan harta untuk dirinya sendiri.”9

Kosakata Hadist
Ardhan bi Khaibar : Nama lahan yang diperoleh Umar RA tersebut adalah Tsamgh,dengan huruf tsa’ berharakat fathah,mim yang mati dan diakhiri dengan huruf ghain.
Yasta’miruhu : Umar mengajak Rasulullah bermusyawarah mengenai tanah itu.
Anfasu ‘Indi : Harta terbaik dan paling mengagumkan yang ada padaku.
Al-Qurbaa : Kerabat seseorang.Maksudnya mencakup saudara sebapak dan saudara seibu.Kerabat di sini artinya kerabat pewakaf.
Ar-Riqaab : Mereka adalah para budak yang melakukan transaksi mukaatabah dengan tuannya yang tidak mempunyai harta untuk membayar kitaabah-nya (untuk pembebasan dirinya dari perbudakan).
Fi Sabiil Lillaah : Mereka adalah para pasukan; dan apa saja yang mendukung dakwah.
Ibnu As-Sabiil : Musafir yang kehabisan bekal di luar daerahnya.Sabiil sendiri artinya jalan.Mereka dinamakan sebagai Ibn as-sabiil karena mereka selalu berada di jalan.
Adh-dhayf : Orang yang singgah ditempat orang lain,baik diundang maupun tidak.Kata adh-dhayf dapat diungkapkan untuk tunggal atau jamak sebab pada asalnya ia adalah mashdar .Namun kadang-kadangg dijamakkan menjadi adhyaaf dan dhuyuf.
La Junaha : Maksudnya tidak berdosa jika orang yang mengurus tanah itu memakan sebagian hasilnya dengan cara yang ma’ruuf (benar).
Ghaira Mutawwamil : Kedudukannya secara I’raab menjadi haal dari kata man.Maksudnya,pengurus tanah itu dapat memakan atau memberi makan hasilnya tanpa menjadikan harta wakaf itu sebagai miliknya.Ia hanya berhak menginfakkan hasilnya tanpa melewati batas kewajaran.
Hadist ini menjelaskan bahwa wakaf adalah menahan asset (raqabah) wakaf dari segala transaksi pemindahan milik atau dari segala yang menjadi penyebab pemindahan milik dan penyerahan hasil aset.
Kalimat “dengan syarat tidak dijual” menjelaskan hukum pengelolaan asset wakaf.Kalimat ini menjelaskan bahwa pengelolaan asset wakaf tidak dillakukan melalui cara pemindahan milik,seperti jual-beli dan hibah.Aset wakaf harus tetap dalam kondisinya,hanya saja dikelola sesuai dengan syarat syar’I yang ditentukan oleh wakaf.
Wakaf hanya bisa berlaku untuk barang-barang yang bisa dimanfaatkan dan dalam waktu yang sama subtansi barang-barang tidak berubah.Sedangkan untuk barang-barang yang habis dengan dimanfaatkan disebut dengan sedekah,bukan wakaf.
Kalimat “hasil tanah itu disedekahkan kepada orang-orang fakir” memberi petunjuk bahwa penyaluran hasil wakaf itu adalah untuk kebaikan umum maupun khusus seperti kerabat,fakir miskin,para pelajar,orang-orang yang berjihad dan lain sebagaianya.
Kalimat “ tidak bermasalah atas orang yang mengurusnya…” menunjukkan esksistensi nadzir (pengelola) yang melaksanakan syarat-syarat yang ditentukan oleh pewakaf,baik pengelolaan asset dan penyalurannya kepada yang berhak.
Kalimat “ Untuk memakan (hasil)nya dengan cara yang makruf (yang baik)” menjelaskan bahwa pengelola dapat mengambil nafkah hidupnya dari hasil asset wakaf dengan cara yang dibenarkan sebagai kompensasi keterikatan dirinya terhadap pengelolaan dan pengawasanya terhadap aset wakaf.
Dari hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa wakaf mempunyai kriteria tertentu,yaitu pokok harta bersifat utuh,kekal dan atau tahan lama,dapat diambil manfaatnya,dan mempunyai tujuan tertentu yakni untuk kebaikan umat Islam.10

C. Akad-akad wakaf
a.Dengan perbuatan : Seperti ketika seseorang membangun sebuah masjid dan memberikan izin untuk sholat di dalamnya tanpa harus mencari persetujuan hukum dari seorang hakim.Namun dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan sah tidaknya wakaf yang diberikan melalui perbuatan.Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.Pendapat Syafi’iyah
Pengikut Syafi’iyah berpendapat bahwa wakaf tidak sah,kecuali dengan perkataan dari orang yang sanggup mengucapkan dengan ucapan yang bisa dipahami. Masih menurut pendapat mereka bahwa,isyarat dan tulisan orang bisu itu bisa disamakan dengan lafal.Sama halnya,dengan tulisan orang yanag bisa bicara dibarengi dengan niat.Hanya saja,para pengikut syafi’iah mengecualikan beberapa hal dari kaidah ini.Menurut mereka,jika ada orang berniat membangun masjid di atas tanah kosong,dan pembangunan itu pun dilaksanakan hingga masjid berdiri di tanah tersebut,maka tidak memerlukan pelafalan lagi.Sebab,perbuatan nyata yang disertai niat sudah cukup jelas,meski tidak disertai dengan niat.

2.Pendapat Malikiyah
Secara eksplisit,fuqaha madzhab Maliki membolehkan wakaf dengan perbuatan,atau tanpa lafal.Hanya saja,mereka tidak mengkhususkan pada wakaf masjid saja.Lebih dari itu,mereka menyempurnakannya dengan wakaf atas segala sesuatu yang dimaksudkan bagi kemaslahatan umum.Sebagaimana pendapat ulama Hanbaliah.
Al-Khurasyi berkata,”Sesuatu yang dapat mewakili fungsi shigat (ucapan),bisa disebut sebagai shigat (ucapan) itu sendiri.Demikian juga,dengan orang yang membanngun masjid,kemudian mempersilahkan dirinya dan orang banyak untuk melakukan shalat di dalamnya,tanpa membedakan dari daerah mana mereka berasal dan shalat apa yang dilaksanakan.Kebiasaan seperti inilah,yang kemudian mewakili fungsi pelafalan,apakah masjid itu menjadi wakaf atau tidak.
3.Pendapat Hanafiyah
Kalangan Hanafiyah membolehkan secara mutlak wakaf masjid,meski tanpa pelafalan yang jelas.Mereka mendasarkannya pada kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat.Menurut mereka,segala sesuatu yang berjalan menurut adat (kebiasaan) itu sah.Mengenai hal ini,Ibn Najm berpendapat bahwa yang menjadikan tanah sebagai masjid,tidak perlu diucapkan :” Saya mewakafkan” atau lafal lain yang seperti itu.Sebab,dalam kebiasaan atau adat yang belaku secara umum,melakukan shalat di setiap masjid itu dibolehkan,tanpa ada pembedaan masjid wwakaf atau bukan.Namun beberapa ulama lainnya menyaratkan adanya saksi dalam proses tersebut.
4.Pendapat hanbaliah
Ahli fiqh mazhab Hanbali berpendapat bahwa wakaf untuk kemaslahatan umum adalah sah,meski tanpa lafal.Mereka menyamakanya dengan kebiasaan jual beli tanpa lafal,yaitu jual beli yang cukup dengan aktivitas membayar-dari satu pihak-dan menyerahkan dari pihak lain.Hanya saja,mereka mensyaratkan adanya indikasi yang menunujukkan adanya keinginan berwakaf.Misalnya,seorang membangun masjid,lalu mengizinkan orang lain shalat di tempat itu.
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa sah tidaknya berwakaf itu ditentukan oleh ada tidaknya perkataan atau perbuatan yang mengarah pada wakaf.Misanya,ia membangun masjid dan mengizinkan orang untuk shalat di dalamnya,izin untuk melakuka shalat itulah yang disebut sebagai perkataan atau perbuatan yang mengindikasikan adanya wakaf.
b.Dengan perkataan,baik dengan lafadz yang kinayah maupun shorih.Adapun lafadz sharih adalah lafal yang populer dan sering digunakan dalam transaksi wakaf,seperti : waqaftu,hasabtu,sabiltu.Selain ketiga bentuk ini,para fuqoha berselisih pendapat.
Sedangkan lafadz yang kinayah adalah merupakan lafadz yang menunjukkan beberapa kemungkinan makna,bisa berarti wakaf bisa juga bermakna lain. Seperti saya mensedekahkkannya kepadamu.
Adapun sifat dari akad wakaf ini menjadi lazim (mengikat) apabila telah terjadi suatu akad yang sah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.

D.Rukun dan Syarat Wakaf
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan rukun wakaf.Perbedaan tersebut merupakan impikasi dari perbedaan mereka dalam memandang subtansi wakaf.Pengikut hanafi memandang bahwa rukun wakaf hanyalah sebatas shighat (lafal) yang menunjukkan makna/subtansi wakaf.Karena itu,Ibn Najm pernah mengatakan bahwa rukun wakaf adalah lafal-lafal yang menunujukkan terjadinya wakaf.
Berbeda dengan Hanafiyah,pengikut Malikiyah,Syafi’iyah,Zaidiyah dan Hanbaliah memandang bahwa rukun wakaf adalah sebagai berikut :

a.Mauquf : Barang atau sesuatu yang diwakafkan.
b.Mauquf alaih : Tujuan waqaf (orang yang menerima wakaf).
c.Shighat : Ijab dan Qobul.
d.Waqif : Orang yang mewaqafkan
Syarat-syarat yang berkaitan dengan wakif ialah mempunyai kecakapan melakukan tabarru,yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan materi.Orang yang dikatakan cakap untuk bertabarru adalah baligh,berakal sehat,dan tidak dipaksa.
Syarat-syarat yang berkaitan dengan harta yang diwakafkan adalah bahwa harta wakaf merupakan harta yang bernilai,milik waqif,dan tahan lama untuk digunakan.
Syarat-syarat yang berhubungan dengan tujuan wakaf ialah bahwa tujuan wakaf harus sesuai dengan nilai-nilai ibadah,sebab wakaf merupakan salah satu amalan shadaqah yang merupakan salah satu perbuatan ibadah.
Syarat-syarat shighat wakaf ialah bahwa wakaf dapat di-shighat-kan,baik dengan lisan,tulisan,maupun isyarat.Wakaf dipandang telah terjadi apabila ada pernyataan wakif (ijab) dan pernyataan qabul dari mauquf alaih tidak diperlukan.Isyarat hanya diperbolehkan bagi wakif yang tidak mampu melakukannya dengan lisan atau tulisan.

E.Macam-macam Wakaf
Menurut para ulama secara umum wakaf dibagi menjadi dua bagian :
1.Wakaf ahli (khusus);
2.Wakaf khairi (umum).
Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakf khusus.Maksud wakaf ahli ialah wakif yang ditujukan kepada orang-orang tertentu,seorang atau lebih,baik keluarga wakif atau orang lain.Misalnya,seseorang mewakafkan buku-buku yang ada diperpustakaan pribadinya untuk keturunanya atau orang yang mampu menggunakannya.
Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
Masalah yang mungkin akan timbul dalam wakaf ini apabila keturunan atau orang-orang yang ditunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda-benda wakaf,atau orang-orang yang ditunjuk telah tidak ada,maka wakaf harus dikembalikan kepada syarat umum,yaitu wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu.Dengan demikian,meskipun orang-orang yang dinyatakan berhak memanfaatkan benda-benda wakaf tealah punah,buku-buku tersebut tetap berkedudukan sebagai benda wakaf sehingga dapat digunakan oleh keluarga lain atau bila tidak ada digunakan oleh umum.
Berdasarkan pengalaman,wakaf ahli setelah melampaui ratusan tahun mengalami kesulitan dalam pelaksaan yang sesuai dengan tujuan wakf yang seungguhunya,terlebih bila keturunanya telah berkembang sedemikain rupa.Berdasarkan hal ini di Mesir wakaf ahli dihapuskan dengan Undang-Undang No.180 tahun 1952.
Wakaf khairi ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu.Wakaf iniliah yang benar-benar sejalan dengan amalan wakaf yang dianjurkan dalam ajaran Islam,yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal dunia,selama harta masih dapat diambil manfaatnya.

F.Menukar dan Menjual Harta Wakaf
Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a yang menceritakan tentang wakaf Umar bahwa wakaf tidak boleh dijual,diwariskan,dan dihibahkan.Namun,dalam hal ini terdapat masalah yaitu apabila harta wakaf berkurang,rusak,atau tidak memenuhi fungsinya sebagai harta wakaf,apakah wakaf harus tetap dipertahanakan ?
Dalam perspektif mazdhab Hanafiyah,Ibdal (menukar) dan istibdal (penggantian) adalah boleh.Kebijakan ini berpijak dan menitik beratkan pada maslahat yang menyertai praktik tersebut.Pembolehan ini bertolak dari sikap toleran dan keleluasaan yang sangat dijunjung tinggi oleh penganut mazdhab Hanbaliah.Menurut mereka,penukaran boleh dilakukan oleh siapa pun,baik waqif sendiri,orang lain maupun hakim tanpa menilik jenis barang yang diwakafkan,apakah tanha yang terurus,tidak terurus,bergerak maupun tidak bergerak.
Sedangkan menurut pendapat mazhab Malilki pada prinsipnya melarang keras penggantian barang wakaf,namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu dengan membedakan barang wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak.Berikut ini,akan dijelaskan pendapat mereka.Kebanyakan fuqaha mazhab Maliki memperbolehkan penggantian wakaf yang bergerak dengan pertimbangan kemaslahatan.Pendapat ini termasyhur dalam riwayat Imam Malik.Seperti,pakaian yang rusak atau kuda sakit,maka barang tersebut boleh dijual dan dibelikan barang sejenis yang bisa diambil manfaatnya.Sedangkan dalam masalah barang yang tidak bergerak mereka melarangnya,kecuali dalam keadaan darurat yang sangat jarang terjadi.11

1 Muhammad al-Syarbini al-Khatib,Al-Iqna fi Hall al-Alfadz bin Abi Syuza,(Dar al-Ihya al-Kutub : Indonesia,t.t).,h.319.

2 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Ahkam Al-Waqf fi Al-Syariah Al-Islamiyah,Dompet Dhu’afa Republika,Cet I,2004,h.37.

3 Sayyid Sabiq,Fiqhus Sunnah,Darul Fath,2004,Jil 4,h.423.

4 Abi Bakr Muhammad Ibn Taqiy al-Din,Kifayat al-Akhyar,PT Al-Ma’aarif: Bandung,t.t.,h.119.

5 Muslim (1631)

6 Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam,Syarah Bulughul Maram,Jil 5,Pustaka Azzam,Cet I,2006,h.116.

7 Ibid.

8 Sayyid Sabiq,Ibid.,h.433.

9 Sayid Sabiq,Ibid.,h.345-346.

10 Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam,Op.,Cit.117-121.

11 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Op.,Cit.349-375.