Senin, 09 Desember 2013

Wadi'ah

Barang titipan dikenal dalam bahasa fiqh dengan al Wadi’ah, menurut bahasa al wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaganya (Ma wudi’a “inda ghoir malikihi layabfadzabu), beraqrti bahwa al wadi’ah ialah memberikan, makna yang kedua dari segi bahasa ialah menerima,  seperti seorang berkata:”awda’tuhu” artinya aku menerima harta tersebut darinya (qobiltu minhu dzalika al-mal liyakuna wadi’ah “indi), secara bahasa  al-wadi’ah  memiliki dua makna, yang  memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimaanya (I’tha’u al-Mal liyahfadzahu fi Qobilihi.)
            Menurut istilah bahwa al-wadi’ah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
1.      Menurut  malikiyah al wadi’ah memiliki dua atri, arti yang pertama ialah          
“Ibrah perwakilan untuk pemeliharaan harta secara mujarad”.
Sedangkan arti yang kedua ialah:
“Ibrah pemindaha pemeliharaan sesuatu yang dimiliki secara mujarad yang sah dipindahkan kepada penerima titipan”.
2.      Menurut hanafiyah bahwa Al-Wadi’ah berarti al-ida” yaitu “ ibrah seseorang yang menyempurnakan harta kepada yang lain untuk dijaga secara jelas atau dilalah”.
Makna yang kedua dari Al-Wadi’ah ialah sesuatu yang dititipkan (al-syai’I al-maudi’) yaitu:”sesuatu yang ditinggalkan kepada orang yang terpecaya supaya dijaganya.
3.      Menurut syafi’iyah yang dimaksud dengan al-wadi’ah ialah “akad yang dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan”.
4.      Menurut hanabilah yang dimaksud dengan al-wadi’ah ialah:” Titipan, perwakilan dalam pemeliharaan sesuatu secara bebas (tabaru)’.
5.      Menurut hasbi Ash-Shidiqie bahwa Al-Wadi’ah ialah “akad yang intinya minta pertolongan kepada seseorang dalam memelihara hatrta penitip”.[1]
6.      Menurut Syaikh syihab al-Din Qalyubi Wa Syaikh ‘Umaiah bahwa al wadi’ah ialah:”Benda yang diletakkan kepada orang lain untuk dipeliharanya.
7.      Menurut syaikh Ibrahim Al Banjuri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-wadi’ah ialah:”akad yang dilakukan untuk perniagaan”.
8.      Menuut idris ahmad bahwasannya titipan artinya barang yang diserahkan
(dimanfaatkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.
            Setelah diketahui definisi-definisi al-wadi’ah yang dijelaskan oleh para ahlinya, maka kirqanya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-wadi’ah adalah akad penitipan, yaitu akad seseorang kepada orang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan). Apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut telah dijaga sebagaiman layaknya, maka peneima titipan tidak wajib menggantikannya, akan tetatpi apabila kerusakan itu diakibatkan oleh kelalaiannya, maka wajib menggantinya.

Dasar Hukum Wadi’ah

            al-wadi’ah adalah amanat bagi orang ang menerima titpan dan wajib menggembalikannyapada waktu si pemilik meminta kembali barangnya.dan ulama fiqh sependapat bahwa wadi’ah adalah salah satu akad dalam angka tolong-menolong antar sesame manusia.[2]
Firman Allah SWT

* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt $VÒ÷èt ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# m­u 3
283. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.(QS.Al-Baqarah:283).
Dalam ayat lain disebutkan dalam suat an-nisa’ ayat 58 yang artinya:
”Sesungguhnya Allah menyuruhmu kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…(An-Nisa’: 58)
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan kerjadengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan, berdasarkan kepada sabda Nabi yang diriwayatkan oleh imam Dzar Al-Quthni dan iwayat arar bib syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi SAW. Bersabda :
Ä4Ë] <ã9eã rãp<Å u~fQl äjM wY ÖR}8pP8 püoi
“siapa saja yang dititipi, ia tidak bekewajiban menjamin” (Riwayat daruquthni).
Äé^t~çeã rãp<Å oj% Òi éfQ l äjM v
“Tidak ada kewajiban menjamin untuk oang yang diberi amanat”. (riwayat al-Baihaqi).
Äk~b2eãp |;~iQeãp  8pã8 qæü rãp<Å  cm ä5oio6% vp cnj&yã oiöüã Öm äiöã8ã
“serahkan amanat kepada orang yang mempecayai anda dan janganlah anda menghianati orang yang menghianati anda.“ (HR.Abu Daud,Tirmidzi dan Hakim).

            Dari ketentuan hukum yang dikemukakan diatas terlihat bahwa perjanjian penitipan barang itu dibolehkan, dengan perkataan lain bahwa menitipkan dan menerima barang titipan hukumnya adalah “Jaiz” atau “Boleh”.
            Namun demikian meskipun hukum menitipkan dan menerima barang titipan itu jaiz, bagi pihak titipan ada alternatif hukum meneima barang titipan itu baginya, yaitu
  1. Dihukumi sebagai sunnat (yaitu apabila penitipaan barang itu diterima maka ia mendapat pahala dan apabila ditolak berdosa) apabila peneima titipan berkeyakinan bahwa dirinya sanggup atau mampu menjaga barang titipan sebagaimana mestinya.
  2. Dihukumi sebagai haram (yaitu apabila ditima mendapatkan dosa dan bila ditinggalkan mendapat pahala) apabila si peneima titipan tidak mampu untuk menjaga barang titipan sebagaimana mestinya.
  3. Dihukumkan sebagai makruh (yaitu bepahala apabila tidak diteima dan tidak berdosa apabila diterima) apabila si penerima merasa mampu untuk menjaga barang titipan itu, akan tetapi dia (penerima titipan) merasa was was apakah nantinya ia dapat berlaku amanah terhadap barang titipan yang diamanahkan kepadanya

Ad.1.    Dihukumkan sebagai sunnat.

            Adapun alasan dihukumkannya sebagai sunnat, karena dengan penerimaannya adalah merupanak aplikasi/nyatalaksana dari perbuatan tolong menolong merupakn  perbuatan yang sangan dianjukan dalam agama islam
.
Namun demikian hukum sunat bisa berubah menjadi wajib terutama sekali dalam hal-hal penitipan barang yang dikarnakan karena keterpaksaan. Adapun penitipan barang yang dilandasi dengan keterpaksaan ialah dalam peristiwa banjir, kebakaran, dan hal hal yang tidak pernah diduga duga sebelumnya.

Ad.2.    dihukumkan sebagai haram

            Duhukumkan sebagai perbuatan haram seandainya dalam hal si penerima titipantidak dapat dipercaya dan atau kaena actor bang ang benar benar jelas keharamannya menurut syariat agama islam..

Ad.3.    dihukumkan sebagai makuh

            Dihukumkan sebagai makruh yaitu dalah hal si penerima titipan mempunyai keyakinan bahwa sebenarnya ia dapat menjaga barang titipan itu sebagaimana mestinya. Akan tetapi dia sangan sangsi adanya barang titipan itu dalam penjagaannya akan mengakibatkan dia tidak berlaku amanat/khianat.[3]

Macam Macam Wadi’ah

          a.Yad Al-Amanah: si penerima barang titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada asset titipan selama hal ini meupakan bukan dai kecerobohan atau kelalaian yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.

          b.Yad Dzamanah: si penerima barang titipan wajib bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset dalam hal ini karenakecerobohan atau kelalaian yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.

Rukun Wadi’ah

Menuut ulama madzhab hanafi, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan qobul saja.

Jumhur Ulama mengatakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga:

  1. Orang yang berakad
  2. barang titipan
  3. shighat ijab qobul

Sedangkan menurut imam Syafi’i bahwa al-wadi’ah memiliki tiga rukun, yaitu:
1.      Barang yang dititipkan, Syarat barang yang dititipkan adalah barang atau benda itu merupakan barang yang dapat dimiliki menurut syara’.
2.      Yang menitipkan dan yang menerima titipan, disyaratkan pada penitip dan yang menerima titipan merupakan seseorang yang baligh, berakal serta syarat syarat lain yang sesuai dengan syarat syarat yang berwakil.
3.      Shighat ijab qabul al-wadi’ah, disyaratkan pada ijab qabul ini dimengerti oleh kedua belah pihak, baik dengan jelas maupun samara-samar.[4]





Syarat-Syarat Wadi’ah

  1. Orang yang berakad

Menuut madzhab Hanafi, rang yang berakad haruslah berakal. Anak kecil yang Mumayyiz telah diizinkan leh walinyya, bleh melakukan akad wadi’ah.Oang gila tidak dibenakan melakukan akad wadi’ah.
Menuut jumhur ulama, orang yang melakukan akad wadi’ah disyaratkan Baligh, berakal dan Cerdas, karena akad wadi’ah merupakan akad yang banyak menanggung resiko penipuan.Oleh kaena itu, anak kecil kendatipun sudah berakal tidak dapat melakukan akad wadi’ah baik oang yang menitipkan maupun oang yang menerima titipan. Disamping jumhur ulama juga mensyaratkan bahwa orang yang berakad itu harus cerdas. Sebab, orang baligh dan berakan belum tentu dapat bertindak secara hukum, terutama sekali apabila tejadi persengketaan.

  1. Barang titipan

1.barang yang disimpan hendaklah boleh dikendlikan oleh oang yang menyimpan
2.Barang yang disimpan hendaklah tahan lama.
3.jika barang yang disimpan itu tidak tahan lama, maka orang yang menyimpan bleh menjual setelah mendapatkan izin dai pengadilan dan uang hasil penjualan barang tersebut disimpan hingga sampai waktu penyerahan balik kepada yang punya.

Cara Menyimpan Wadi’ah.

a.tanggung jawab menyimpan al-wadi’ah adalah amanah.. maka cara menyimpannya adalah sebagai berikut.
     1.tidak dicampur dengan bang oang lain
     2.tidak digunakan
     3.tidak dikenakan upah bagi sipenjaga
b.Jika wadi’ah yang dijaga seperti butir (a) diatas hilang, rusak atau musnah, bukan karena kelalaian orang yang menyimpan, maka ia tidak diwajibkan mengganti
c. Jika wadi’ah tidak dijaga seperti butir (a) diatas maka ia wajib mengganti apabila bang itu hilang, usak atau musnah.
d. pemilik brang boleh mengenakan syarat yang tertentu berkaitan dengan keselamatan barangnya.
 e. orang yang menyimpan tidak bleh membuat perjanjian.wadi’ah dengan oang lain tanpa mendapaikan izin dari si pemilik barang.
 f. jika si pemilik barang meninggal. Maka berpindahlah tanggung jawab kepada ahli warisnya. Sampai perjanjian telah selesai.

Sifat Dan Akad Wadi’ah

            Ulama fiqh sepakat mengatakan, bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah pihak. Akan tetepi, apakah tanggung jawab memelihara barang itu bersifat amanah atau bersifat ganti rugi (dhamanah)
            Umala fikih sepakat, bahwa status wadi’ah bersifat amanah, bukan dhamanah, sehingga semua kerusakan penitipan tidak menjadi tanggung jawab pihak yang menitipi, beda sekiranya kerusakan itu disengaja oleh orang yang menitipi, sebagai alasannya adalah sabda rosulullah:
Ä4Ë] <9eãp é^t~çeã rãp<Å l gjM gVUã RU P8qBUã éfQ C~e
Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan penghianatan tidak dikenakan ganti rugi“. (HR.Baihaqi dan Daru-Quthni)



Dalam riwayat lain dikatakan:
ÄénË]<ã9eã rãp<Å oj)ÒéfQ l äjMv
„Tidak ada ganti rugi terhadap orang yang dipercaya“. (HR.Daru-Quthni)
            Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan ganti rugi atas orang yang dititipi maka akad itu tidak sah. Kemudian orang yang dititipi juga harus menjaga amanat dengan baik dan tidak boleh menuntut upah (jasa) dari orang yang menitipkan.

Perubahan Wadi’ah Dari Amanat Menjadi Dhamaah.

            Sebagaimana telah dijaskan terdahulu, bahwa akad wadi’ah adalah bersifat amanat dan imbalannya hanya diharapkan ridha Allah semata. Namun, para ulama ikih memikirkan juga kemungkinan lain, yaitu dari wadi’ah yang bersifat amanah berubah menjadi wadi’ah yang bersifat dahamanah.
            Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
  1. barang itu tidak dapat dipelihara oleh oarang yang dititipi. Dengan demikian halnya apabila ada orang lain yang ingin merusaknya, tetapi ia tidak memepertahankannya, sedangkan ia mamapu mengatasi (mencegahnya).
  2. barang titipan itu dititipkan lagi kepada orang yang bukan keluarga dekat, atau orang yang bukan dibawah tanggung jawabnya.
  3. barang titipan itu dimanfaatnkan oaleh orang yang dititipi, kemudian barang itu rusak atau hilang. Sedangkan barang titiipan seharusnya dipelihara, bukan dimanfaatkan.
  4. orang yang dititipi mengingkari ada barang titipan yang dititipkan kepadanya. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam akad wadi’ah disebut barangnya dan jumlahnya ataupun sifat-siat lain, sehingga apabila terjadi keingkaran dapat ditunjukkan buktinya.
  5. Orang yang menerima barang titipan itu, mencampuradukkan dengan barang pribadinya, sehingga sekiranya ada yang rusak atau hilang, maka sukar untuk menentukannya, apakah barangnya sendiri yang rusak (hilang) ayau barang titipan itu.
  6. orang yang menerima barang titipan itu tidak menepati syarat syarat yang dikemukakan oleh penitip barang, seperti tempat penyimpannya san syarat-syarat lainnya.

Tentang Jaminan.

            Pada dasarnya perjanjian penitipan barang adalah merupakan perjanjian yang bersifat “percaya-mempercayai”, atau dilakukan atas dasar kepercayaan semata.        
            Dengan sifat dasar atas kepercayaan itu maka tidaklah mesti ada jaminan dari pihak titipan.
            Konsekuensinya apabila obyek (barang) yang dititipkan musnah atau usak, tidak ada kewajiban bagi pihak penerima barang tiipan untuk menggantinya kepada pihak penitip, kecuali apabila musnah atau usaknya barang itu disebsbka oleh kelalaian oleh pihak penerima titipan.
            Hal ini didasarkan kepada haist Nabi Muhammad SAW yang atinya berbunyi sebagai berikut:
            “siapa yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin“.
            Sedangkan apabila baang yang dititipkan menurut pengakuan pihak penerima titipan dicuri sedangkan ia juga mengaku bahwa ia telah memelihara barang yang dititipkan itu bersama dengan hartanya, sedangkan barangnya sendiri tidak dicuri maka ia bekewajiban untuk memeberikan pengganitannya.
            Dan dalam si penerima barang titipan meninggal dunia sebelum barang titipan itu diserahkan kembali kepada pihak penitip, maka ahli warinya berkewajiban untuk menyerahkannya kembali kepada pihak pemilik.     
            Sedangkan dalam hal peristiwa sipemilik barang tidak diketahui lagi, oleh pihak penerima titipan telah diusahakan untuk mencarinya, namun tidak diketahui, maka barang yang dititipkan kepadanya boleh dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat islam, yaitu dengan cara menggunakannya untuk keperluan yang lebih penting dari yang penting.

Rusak dan Hilangnya Benda Titipan.

            Jika yang memerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adnya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus disertai dengan sumpah, supaya perkataan itu kuat kedudukannya menurut hukum, namun Ibnu Al-Munzir berpendapat bahwa orang tersebut diatas sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.
            Menurut Ibnu Taimiyah apabila seseorangy yang memelihara benda-benda titipan itu mengaku bahwa benda-benda titipan tidak ada yang mencui, sementara hartanya yang ia dikelola tidak ada yang mencuri, maka orang yang menerima benda-benda titipan tersebut wajib menggantinya. Pendapat Ibnu Taimiyah ini berdasarkan atsar bahwa Umar RA pernah meminta jaminan dari Anas bin Malik RA ketika barang titipannya yang ada pada Anas RA dinyatakan hilang, sedangkan harta Anas RA sendiri masih ada.
            Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titpan milik orang lain, tenyata barang-barang titipan tersebut tidak ditemukan, maka ini merupakan utang bagi yang menerima barang titipan dan wajib dibayar oleh para ahli warisnya, jika terdapat surat terhadaat surat denga tulisannya sendiri, yang  berisi adanya pengakuan benda-benda titipan, maka surat tersebut dijadikan pegangan, karena tulisan dianggap sama dengan perkataan apabila tulisan tersebut ditulis oleh dirinya sendiri.
            Bila seseorang menerima benda-benda titipan, sudah sangat lama waktunya, sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemilik benda-benda titipan tersebut dan sudah berusaha mencarinya dengan cara yang wajar, namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas, maka benda-benda titipan tersebut dapat digunakan untuk kepentingan agama islam, dengan mendahulukan hal-hal yang paling pending diantara masalah-masalah yang penting.[5]

Kesimpulan
            Jadi dapat disimpulin bahwa wadi’ah maka kirqanya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-wadi’ah adalah akad penitipan, yaitu akad seseorang kepada orang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan). Salah satu Dasar Hukum wadi’ah adalah surat an-nisa’ ayat 58 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruhmu kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.. wadiah dibagi menjadi dua macam yaitu wadiah yad amanah dan wadi’ah yad dhamana. Syarat wadiah menurut jumhur ulama ada tiga orang yang berakad, Brang titipan dan shighat ijab qobul. Dan syarat wadiah adalah orang yang berakal, anak kecil yang telah diberi izin oleh orang tua mereka. Hukum menerima barang titipan ada 4, yaitu wajib, sunnah, makuh dan haram.



[1] Hasbi Ash-Shiddiqie,Pengantar Fiqh Muamalah, bulan bintang:Jakarta, 1984 hlm .88
[2] M. Ali Hasan, berbagai macam transaksi dalam islam, PT Raja Grafindo persada: Jakarta, 2004 hlm.246
[3] Chaiuman pasaribu , hukum pejanjian dalam islam, sinar grafika:jakata 2004. hlm. 71
[4]Sulaiman rasyid, Fiqh islam, at-tahiriyah:Jakarta,1976. hlm. 315
[5] Hendi suhendi, fiqh muamalah, PT.Raja Grafindo, Jakarta, 2002 hlm. 185.

WADI'AH

Barang titipan dikenal dalam bahasa fiqh dengan al Wadi’ah, menurut bahasa al wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaganya (Ma wudi’a “inda ghoir malikihi layabfadzabu), beraqrti bahwa al wadi’ah ialah memberikan, makna yang kedua dari segi bahasa ialah menerima,  seperti seorang berkata:”awda’tuhu” artinya aku menerima harta tersebut darinya (qobiltu minhu dzalika al-mal liyakuna wadi’ah “indi), secara bahasa  al-wadi’ah  memiliki dua makna, yang  memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimaanya (I’tha’u al-Mal liyahfadzahu fi Qobilihi.)
            Menurut istilah bahwa al-wadi’ah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
1.      Menurut  malikiyah al wadi’ah memiliki dua atri, arti yang pertama ialah          
“Ibrah perwakilan untuk pemeliharaan harta secara mujarad”.
Sedangkan arti yang kedua ialah:
“Ibrah pemindaha pemeliharaan sesuatu yang dimiliki secara mujarad yang sah dipindahkan kepada penerima titipan”.
2.      Menurut hanafiyah bahwa Al-Wadi’ah berarti al-ida” yaitu “ ibrah seseorang yang menyempurnakan harta kepada yang lain untuk dijaga secara jelas atau dilalah”.
Makna yang kedua dari Al-Wadi’ah ialah sesuatu yang dititipkan (al-syai’I al-maudi’) yaitu:”sesuatu yang ditinggalkan kepada orang yang terpecaya supaya dijaganya.
3.      Menurut syafi’iyah yang dimaksud dengan al-wadi’ah ialah “akad yang dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan”.
4.      Menurut hanabilah yang dimaksud dengan al-wadi’ah ialah:” Titipan, perwakilan dalam pemeliharaan sesuatu secara bebas (tabaru)’.
5.      Menurut hasbi Ash-Shidiqie bahwa Al-Wadi’ah ialah “akad yang intinya minta pertolongan kepada seseorang dalam memelihara hatrta penitip”.[1]
6.      Menurut Syaikh syihab al-Din Qalyubi Wa Syaikh ‘Umaiah bahwa al wadi’ah ialah:”Benda yang diletakkan kepada orang lain untuk dipeliharanya.
7.      Menurut syaikh Ibrahim Al Banjuri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-wadi’ah ialah:”akad yang dilakukan untuk perniagaan”.
8.      Menuut idris ahmad bahwasannya titipan artinya barang yang diserahkan
(dimanfaatkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.
            Setelah diketahui definisi-definisi al-wadi’ah yang dijelaskan oleh para ahlinya, maka kirqanya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-wadi’ah adalah akad penitipan, yaitu akad seseorang kepada orang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan). Apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut telah dijaga sebagaiman layaknya, maka peneima titipan tidak wajib menggantikannya, akan tetatpi apabila kerusakan itu diakibatkan oleh kelalaiannya, maka wajib menggantinya.

Dasar Hukum Wadi’ah

            al-wadi’ah adalah amanat bagi orang ang menerima titpan dan wajib menggembalikannyapada waktu si pemilik meminta kembali barangnya.dan ulama fiqh sependapat bahwa wadi’ah adalah salah satu akad dalam angka tolong-menolong antar sesame manusia.[2]
Firman Allah SWT

* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt $VÒ÷èt ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# m­u 3
283. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.(QS.Al-Baqarah:283).
Dalam ayat lain disebutkan dalam suat an-nisa’ ayat 58 yang artinya:
”Sesungguhnya Allah menyuruhmu kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…(An-Nisa’: 58)
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan kerjadengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan, berdasarkan kepada sabda Nabi yang diriwayatkan oleh imam Dzar Al-Quthni dan iwayat arar bib syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi SAW. Bersabda :
Ä4Ë] <ã9eã rãp<Å u~fQl äjM wY ÖR}8pP8 püoi
“siapa saja yang dititipi, ia tidak bekewajiban menjamin” (Riwayat daruquthni).
Äé^t~çeã rãp<Å oj% Òi éfQ l äjM v
“Tidak ada kewajiban menjamin untuk oang yang diberi amanat”. (riwayat al-Baihaqi).
Äk~b2eãp |;~iQeãp  8pã8 qæü rãp<Å  cm ä5oio6% vp cnj&yã oiöüã Öm äiöã8ã
“serahkan amanat kepada orang yang mempecayai anda dan janganlah anda menghianati orang yang menghianati anda.“ (HR.Abu Daud,Tirmidzi dan Hakim).

            Dari ketentuan hukum yang dikemukakan diatas terlihat bahwa perjanjian penitipan barang itu dibolehkan, dengan perkataan lain bahwa menitipkan dan menerima barang titipan hukumnya adalah “Jaiz” atau “Boleh”.
            Namun demikian meskipun hukum menitipkan dan menerima barang titipan itu jaiz, bagi pihak titipan ada alternatif hukum meneima barang titipan itu baginya, yaitu
  1. Dihukumi sebagai sunnat (yaitu apabila penitipaan barang itu diterima maka ia mendapat pahala dan apabila ditolak berdosa) apabila peneima titipan berkeyakinan bahwa dirinya sanggup atau mampu menjaga barang titipan sebagaimana mestinya.
  2. Dihukumi sebagai haram (yaitu apabila ditima mendapatkan dosa dan bila ditinggalkan mendapat pahala) apabila si peneima titipan tidak mampu untuk menjaga barang titipan sebagaimana mestinya.
  3. Dihukumkan sebagai makruh (yaitu bepahala apabila tidak diteima dan tidak berdosa apabila diterima) apabila si penerima merasa mampu untuk menjaga barang titipan itu, akan tetapi dia (penerima titipan) merasa was was apakah nantinya ia dapat berlaku amanah terhadap barang titipan yang diamanahkan kepadanya

Ad.1.    Dihukumkan sebagai sunnat.

            Adapun alasan dihukumkannya sebagai sunnat, karena dengan penerimaannya adalah merupanak aplikasi/nyatalaksana dari perbuatan tolong menolong merupakn  perbuatan yang sangan dianjukan dalam agama islam
.
Namun demikian hukum sunat bisa berubah menjadi wajib terutama sekali dalam hal-hal penitipan barang yang dikarnakan karena keterpaksaan. Adapun penitipan barang yang dilandasi dengan keterpaksaan ialah dalam peristiwa banjir, kebakaran, dan hal hal yang tidak pernah diduga duga sebelumnya.

Ad.2.    dihukumkan sebagai haram

            Duhukumkan sebagai perbuatan haram seandainya dalam hal si penerima titipantidak dapat dipercaya dan atau kaena actor bang ang benar benar jelas keharamannya menurut syariat agama islam..

Ad.3.    dihukumkan sebagai makuh

            Dihukumkan sebagai makruh yaitu dalah hal si penerima titipan mempunyai keyakinan bahwa sebenarnya ia dapat menjaga barang titipan itu sebagaimana mestinya. Akan tetapi dia sangan sangsi adanya barang titipan itu dalam penjagaannya akan mengakibatkan dia tidak berlaku amanat/khianat.[3]

Macam Macam Wadi’ah

          a.Yad Al-Amanah: si penerima barang titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada asset titipan selama hal ini meupakan bukan dai kecerobohan atau kelalaian yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.

          b.Yad Dzamanah: si penerima barang titipan wajib bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset dalam hal ini karenakecerobohan atau kelalaian yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.

Rukun Wadi’ah

Menuut ulama madzhab hanafi, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan qobul saja.

Jumhur Ulama mengatakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga:

  1. Orang yang berakad
  2. barang titipan
  3. shighat ijab qobul

Sedangkan menurut imam Syafi’i bahwa al-wadi’ah memiliki tiga rukun, yaitu:
1.      Barang yang dititipkan, Syarat barang yang dititipkan adalah barang atau benda itu merupakan barang yang dapat dimiliki menurut syara’.
2.      Yang menitipkan dan yang menerima titipan, disyaratkan pada penitip dan yang menerima titipan merupakan seseorang yang baligh, berakal serta syarat syarat lain yang sesuai dengan syarat syarat yang berwakil.
3.      Shighat ijab qabul al-wadi’ah, disyaratkan pada ijab qabul ini dimengerti oleh kedua belah pihak, baik dengan jelas maupun samara-samar.[4]





Syarat-Syarat Wadi’ah

  1. Orang yang berakad

Menuut madzhab Hanafi, rang yang berakad haruslah berakal. Anak kecil yang Mumayyiz telah diizinkan leh walinyya, bleh melakukan akad wadi’ah.Oang gila tidak dibenakan melakukan akad wadi’ah.
Menuut jumhur ulama, orang yang melakukan akad wadi’ah disyaratkan Baligh, berakal dan Cerdas, karena akad wadi’ah merupakan akad yang banyak menanggung resiko penipuan.Oleh kaena itu, anak kecil kendatipun sudah berakal tidak dapat melakukan akad wadi’ah baik oang yang menitipkan maupun oang yang menerima titipan. Disamping jumhur ulama juga mensyaratkan bahwa orang yang berakad itu harus cerdas. Sebab, orang baligh dan berakan belum tentu dapat bertindak secara hukum, terutama sekali apabila tejadi persengketaan.

  1. Barang titipan

1.barang yang disimpan hendaklah boleh dikendlikan oleh oang yang menyimpan
2.Barang yang disimpan hendaklah tahan lama.
3.jika barang yang disimpan itu tidak tahan lama, maka orang yang menyimpan bleh menjual setelah mendapatkan izin dai pengadilan dan uang hasil penjualan barang tersebut disimpan hingga sampai waktu penyerahan balik kepada yang punya.

Cara Menyimpan Wadi’ah.

a.tanggung jawab menyimpan al-wadi’ah adalah amanah.. maka cara menyimpannya adalah sebagai berikut.
     1.tidak dicampur dengan bang oang lain
     2.tidak digunakan
     3.tidak dikenakan upah bagi sipenjaga
b.Jika wadi’ah yang dijaga seperti butir (a) diatas hilang, rusak atau musnah, bukan karena kelalaian orang yang menyimpan, maka ia tidak diwajibkan mengganti
c. Jika wadi’ah tidak dijaga seperti butir (a) diatas maka ia wajib mengganti apabila bang itu hilang, usak atau musnah.
d. pemilik brang boleh mengenakan syarat yang tertentu berkaitan dengan keselamatan barangnya.
 e. orang yang menyimpan tidak bleh membuat perjanjian.wadi’ah dengan oang lain tanpa mendapaikan izin dari si pemilik barang.
 f. jika si pemilik barang meninggal. Maka berpindahlah tanggung jawab kepada ahli warisnya. Sampai perjanjian telah selesai.

Sifat Dan Akad Wadi’ah

            Ulama fiqh sepakat mengatakan, bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah pihak. Akan tetepi, apakah tanggung jawab memelihara barang itu bersifat amanah atau bersifat ganti rugi (dhamanah)
            Umala fikih sepakat, bahwa status wadi’ah bersifat amanah, bukan dhamanah, sehingga semua kerusakan penitipan tidak menjadi tanggung jawab pihak yang menitipi, beda sekiranya kerusakan itu disengaja oleh orang yang menitipi, sebagai alasannya adalah sabda rosulullah:
Ä4Ë] <9eãp é^t~çeã rãp<Å l gjM gVUã RU P8qBUã éfQ C~e
Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan penghianatan tidak dikenakan ganti rugi“. (HR.Baihaqi dan Daru-Quthni)



Dalam riwayat lain dikatakan:
ÄénË]<ã9eã rãp<Å oj)ÒéfQ l äjMv
„Tidak ada ganti rugi terhadap orang yang dipercaya“. (HR.Daru-Quthni)
            Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan ganti rugi atas orang yang dititipi maka akad itu tidak sah. Kemudian orang yang dititipi juga harus menjaga amanat dengan baik dan tidak boleh menuntut upah (jasa) dari orang yang menitipkan.

Perubahan Wadi’ah Dari Amanat Menjadi Dhamaah.

            Sebagaimana telah dijaskan terdahulu, bahwa akad wadi’ah adalah bersifat amanat dan imbalannya hanya diharapkan ridha Allah semata. Namun, para ulama ikih memikirkan juga kemungkinan lain, yaitu dari wadi’ah yang bersifat amanah berubah menjadi wadi’ah yang bersifat dahamanah.
            Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
  1. barang itu tidak dapat dipelihara oleh oarang yang dititipi. Dengan demikian halnya apabila ada orang lain yang ingin merusaknya, tetapi ia tidak memepertahankannya, sedangkan ia mamapu mengatasi (mencegahnya).
  2. barang titipan itu dititipkan lagi kepada orang yang bukan keluarga dekat, atau orang yang bukan dibawah tanggung jawabnya.
  3. barang titipan itu dimanfaatnkan oaleh orang yang dititipi, kemudian barang itu rusak atau hilang. Sedangkan barang titiipan seharusnya dipelihara, bukan dimanfaatkan.
  4. orang yang dititipi mengingkari ada barang titipan yang dititipkan kepadanya. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam akad wadi’ah disebut barangnya dan jumlahnya ataupun sifat-siat lain, sehingga apabila terjadi keingkaran dapat ditunjukkan buktinya.
  5. Orang yang menerima barang titipan itu, mencampuradukkan dengan barang pribadinya, sehingga sekiranya ada yang rusak atau hilang, maka sukar untuk menentukannya, apakah barangnya sendiri yang rusak (hilang) ayau barang titipan itu.
  6. orang yang menerima barang titipan itu tidak menepati syarat syarat yang dikemukakan oleh penitip barang, seperti tempat penyimpannya san syarat-syarat lainnya.

Tentang Jaminan.

            Pada dasarnya perjanjian penitipan barang adalah merupakan perjanjian yang bersifat “percaya-mempercayai”, atau dilakukan atas dasar kepercayaan semata.        
            Dengan sifat dasar atas kepercayaan itu maka tidaklah mesti ada jaminan dari pihak titipan.
            Konsekuensinya apabila obyek (barang) yang dititipkan musnah atau usak, tidak ada kewajiban bagi pihak penerima barang tiipan untuk menggantinya kepada pihak penitip, kecuali apabila musnah atau usaknya barang itu disebsbka oleh kelalaian oleh pihak penerima titipan.
            Hal ini didasarkan kepada haist Nabi Muhammad SAW yang atinya berbunyi sebagai berikut:
            “siapa yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin“.
            Sedangkan apabila baang yang dititipkan menurut pengakuan pihak penerima titipan dicuri sedangkan ia juga mengaku bahwa ia telah memelihara barang yang dititipkan itu bersama dengan hartanya, sedangkan barangnya sendiri tidak dicuri maka ia bekewajiban untuk memeberikan pengganitannya.
            Dan dalam si penerima barang titipan meninggal dunia sebelum barang titipan itu diserahkan kembali kepada pihak penitip, maka ahli warinya berkewajiban untuk menyerahkannya kembali kepada pihak pemilik.     
            Sedangkan dalam hal peristiwa sipemilik barang tidak diketahui lagi, oleh pihak penerima titipan telah diusahakan untuk mencarinya, namun tidak diketahui, maka barang yang dititipkan kepadanya boleh dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat islam, yaitu dengan cara menggunakannya untuk keperluan yang lebih penting dari yang penting.

Rusak dan Hilangnya Benda Titipan.

            Jika yang memerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adnya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus disertai dengan sumpah, supaya perkataan itu kuat kedudukannya menurut hukum, namun Ibnu Al-Munzir berpendapat bahwa orang tersebut diatas sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.
            Menurut Ibnu Taimiyah apabila seseorangy yang memelihara benda-benda titipan itu mengaku bahwa benda-benda titipan tidak ada yang mencui, sementara hartanya yang ia dikelola tidak ada yang mencuri, maka orang yang menerima benda-benda titipan tersebut wajib menggantinya. Pendapat Ibnu Taimiyah ini berdasarkan atsar bahwa Umar RA pernah meminta jaminan dari Anas bin Malik RA ketika barang titipannya yang ada pada Anas RA dinyatakan hilang, sedangkan harta Anas RA sendiri masih ada.
            Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titpan milik orang lain, tenyata barang-barang titipan tersebut tidak ditemukan, maka ini merupakan utang bagi yang menerima barang titipan dan wajib dibayar oleh para ahli warisnya, jika terdapat surat terhadaat surat denga tulisannya sendiri, yang  berisi adanya pengakuan benda-benda titipan, maka surat tersebut dijadikan pegangan, karena tulisan dianggap sama dengan perkataan apabila tulisan tersebut ditulis oleh dirinya sendiri.
            Bila seseorang menerima benda-benda titipan, sudah sangat lama waktunya, sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemilik benda-benda titipan tersebut dan sudah berusaha mencarinya dengan cara yang wajar, namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas, maka benda-benda titipan tersebut dapat digunakan untuk kepentingan agama islam, dengan mendahulukan hal-hal yang paling pending diantara masalah-masalah yang penting.[5]

Kesimpulan
            Jadi dapat disimpulin bahwa wadi’ah maka kirqanya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-wadi’ah adalah akad penitipan, yaitu akad seseorang kepada orang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan). Salah satu Dasar Hukum wadi’ah adalah surat an-nisa’ ayat 58 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruhmu kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.. wadiah dibagi menjadi dua macam yaitu wadiah yad amanah dan wadi’ah yad dhamana. Syarat wadiah menurut jumhur ulama ada tiga orang yang berakad, Brang titipan dan shighat ijab qobul. Dan syarat wadiah adalah orang yang berakal, anak kecil yang telah diberi izin oleh orang tua mereka. Hukum menerima barang titipan ada 4, yaitu wajib, sunnah, makuh dan haram.



[1] Hasbi Ash-Shiddiqie,Pengantar Fiqh Muamalah, bulan bintang:Jakarta, 1984 hlm .88
[2] M. Ali Hasan, berbagai macam transaksi dalam islam, PT Raja Grafindo persada: Jakarta, 2004 hlm.246
[3] Chaiuman pasaribu , hukum pejanjian dalam islam, sinar grafika:jakata 2004. hlm. 71
[4]Sulaiman rasyid, Fiqh islam, at-tahiriyah:Jakarta,1976. hlm. 315
[5] Hendi suhendi, fiqh muamalah, PT.Raja Grafindo, Jakarta, 2002 hlm. 185.